KLHK Ungkap Penyebab Pasar Karbon Indonesia Masih Lesu
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KHLK) menilai pengembangan ekosistem pasar karbon harus diikuti dengan komitmen Indonesia dalam upaya mitigasi perubahan iklim dan pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK). Hal ini karena ekosistem pasar karbon di Indonesia masih belum optimal.
“Kita tidak akan pernah bisa meningkatkan kapasitas ekositem pasar karbon kita kalau kita tidak meningkatkan upaya mitigasi perubahan iklim,” kata Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian LHK, Laksmi Dhewanthi dalam acara Expanding Indonesia's Carbon Market: Opportunities for Growth and Sustainability, di Jakarta, Selasa (19/3).
Pasar karbon adalah alat untuk pencapaian target penurunan emisi seperti yang dikomitmenkan di Nationally Determined Contribution (NDC) setiap negara. Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan target emisi 31,89 persen dengan usaha sendiri, dan 43,20 persen dengan bantuan internasional pada 2030.
Ia mengatakan Indonesia memiliki lima fokus sektor dan subsektor yang didorong untuk berpartisipasi dalam mitigasi perubahan iklim dan pengurangan emisi GRK. Dari lima sektor tersebut, masing-masing sudah punya peta jalan, rencana aksi hingga target pengurangan emisi yang dicapai.
“Target-target dan base line inilah yang akan menentukan mekanisme nilai ekonomi karbon mana yang akan digunakan masing-masing sektor,” ucapnya.
Setiap sektor bisa memilih mekanisme kerja sama atau nilai ekonomi karbon yang akan digunakan. Seperti, melalui perdagangan emisi, offset emisi, pembayaran berbasis kinerja, melalui pungutan atas karbon atau pajak karbon dan mekanisme lainnya.
Laksmi mengatakan Indonesia telah melakukan inventarisasi gas rumah kaca sejak 2009. Dengan demikian, kita bisa mengetahui berapa banyak emisi GRK yang bisa dikurangi.
Pada 2022, Indonesia khususnya di sektor kehutanan berhasil menurunkan mencapai 42%. Ini menunjukkan keberhasilan Indonesia melakukan mitigasi perubahan iklim dan pengurangan emisi gas rumah kaca.
“Maka potensi untuk melakukan perdagan karbon atau mekanisme nilai ekonomi karbon lainnya itu akan meningkat,’ ujar dia.
Transaksi Bursa Karbon Masih Rendah
Pada kesempatan yang sama, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melaporkan transaksi Bursa Karbon Indonesia masih minim sejak peluncuran perdana pada 26 September 2023. Hingga 18 Maret 2024, total akumulasi volume transaksi di bursa karbon sebesar 501.956 ton CO2e dengan nilai sebesar Rp 31,36 miliar.
“Dari transaksi tersebut, sebesar 182.293 ton CO2e dan telah dilakukan retired melalui bursa karbon. Memang saat ini transaksinya masih terbilang kecil," kata Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK, Inarno Djajadi dalam acara Expanding Indonesia's Carbon Market: Opportunities for Growth and Sustainability, di Jakarta, Selasa (19/3).
Oleh sebab itu, OJK merancang berbagai strategi untuk mendongkrak transaksi Bursa Karbon Indonesia. Inarno mengatakan, Bursa Karbon Indonesia memiliki potensi luar biasa.
Dia mengatakan, OJK optimistis bahwa bursa karbon akan berkembang pesat. Namun, optimisme tersebut sulit untuk diwujudkan tanpa adanya dukungan dari berbagai pemangku kepentingan yang terkait.
“OJK secara aktif terus melakukan koordinasi dengan kementerian dan lembaga terkait, khususnya dalam memformulasi berbagai kebijakan insentif dan disinsentif, yang diharapkan dapat mengantisipasi berbagai tantangan baik dari sisi supply, demand, maupun likuiditas di pasar karbon Indonesia,” ujar Inarno.
Selain itu, OJK juga berupaya untuk mendapatkan dukungan dari para investor domestik dan global di berbagai proyek pengurangan emisi yang nantinya akan menghasilkan Carbon Credit.
Untuk itu, OJK tidak hanya fokus di perdagangan karbon tetapi juga mengoptimalkan ekosistem bursa karbon. Hal itu termasuk mendorong diimplementasikannya pajak karbon.
“Jadi, tidak hanya bursa karbon, tetapi juga ekosistem yang ada di sekelilingnya, ada batas atas, ada karbon tax, dan lain-lain,” ucapnya.