Pemerintah Didesak Terapkan Pajak Karbon Industri Baja Sebelum 2030
Institute for Essential Services Reform (IESR) melaporkan emisi gas rumah kaca (GRK) industri baja di Indonesia menyumbang 7% dari emisi industri nasional. Untuk itu, IESR mendorong pemerintah untuk melakukan dekarbonisasi di industri baja dan menerapkan pajak karbon sebelum 2030.
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, mendesak agar transformasi industri khususnya yang intensif energi dan tinggi karbon segera dilakukan. Industri baja merupakan salah satu yang termasuk dalam kategori tersebut.
Oleh sebab itu, Fabby mengatakan, pemeritah harus segera menyusun peta jalan (road map) dekarbonisasi industri baja. Dengan dekarbonisasi, emisi industri baja bisa ditekan hingga 92% pada 2060 nanti. Salah satu cara dekarbonisasi.
“Kami telah melakukan kajian tentang industri baja, dimana hasil penelitian kami menujukkan dengan menerapkan teknologi yang terbaik hari ini emisi gas rumah kaca dan industri baja di Indonesia dapat dikurangi hingga 92% dari proyeksinya pada 2060 nanti,”kata Fabby dalam dalam acara Webinar Mempercepat Transformasi Industri Baja di Indonesia dan Asia Tenggara secara daring, Rabu (20/3).
Studi IESR memberikan tiga rekomendasi dalam mendorong dekarbonisasi industri di Indonesia. Pertama, penyelesaian peta jalan dekarbonisasi industri oleh Kementerian Perindustrian pada akhir tahun 2024 atau lebih cepat.
“Perlunya pemerintah menyusun road map dekarbonisasi industri baja untuk jangka menengah sampai 2030 dan jangka panjang 2060 atau lebih awal, kami malah mendorong 2050 biar selaras dengan target paris agreement,” ucapnya.
Kedua, memperkuat pelaporan dan pengumpulan data soal implementasi Peraturan Menteri Perindustrian No.2/2019 mengenai tata cara penyampaian data industri melalui Sistem Informasi Industri Nasional (SIINAS). Selain itu, memastikan keterbukaan laporan keberlanjutan industri untuk transparansi dan akses informasi, terutama pelaporan penggunaan energi dan bahan baku serta limbah yang dihasilkan.
Fabby mengatakan ini perlu dilakukan untuk menghindari Indonesia menjadi dumping teknologi dari negara lain. Dumping merupakan istilah dalam perdagangan internasional di mana barang diekspor dan dijual di luar negeri dengan harga lebih murah guna menguasai pasar negara tersebut.
“Hari ini di Asia Tenggara, investasi baru untuk baja berasal dari Tiongkok dan kita tahu indikasi teknologi-teknologi yang dipakai industri ini merupakan teknologi yang tidak lagi dikembangkan dan dipakai disana. Sehingga kita harus menghindari terjadinya dumping dan juga untuk negara-negara asia tenggara lainnya,” kata Fabby.
Ketiga, menyusun patokan (benchmarking) proses produksi industri hijau serta memperluas cakupan dan nilai batas standar industri hijau (SIH). Perluasan itu dari yang awalnya bersifat sukarela (voluntary) dan mengacu ke best practice lokal, menjadi wajib dan berkesesuaian dengan kebutuhan penurunan emisi di tahun 2060, atau lebih awal.
Fabby mengatakan, salah satu cara mengeluarkan kebijakan tersebut adalah dengan menerapkan pajak karbon di industri baja sebelum 2030.
“Idealnya dalam 2 hingga 3 tahun mendatang sudah mulai diterapkan,” ujar dia.
Fabby menuturkan, hari ini pemerintah baru menerapkan nilai ekonomi karbon (NEK) atau pajak karbon yang mulai berlaku di pembangkit listrik tenaga uap. Instrumen kebijakan ini perlu juga diterapkan di industri baja.
Perusahaan RI Mulai Laporkan Perhitungan Emisi GRK
Sejumlah perusahaan di Indonesia mulai menghitung emisi gas rumah kaca (GRK) yang dihasilkan dalam kegiatan usahanya. Penghitungan karbon tersebut terutama dilakukan oleh perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.
Chief Executive Officer of CarbonShare, FaelaSufa, mengatakan semua perbankan dengan kapitalisasiyang besar di Indonesia sudah rutin melaporkan emisi gas rumah kacanya. Selain itu, sebanyak 500 emiten yang terdaftar di Indonesia seharusnya sudah mulai melaporkan emisi GRK.
"Peraturannya sudah ada yang mengharuskan perusahaan melaporkan emisi gas rumah kaca. Dari sekitar 800 perusahaan yang terdaftar di BEI, sebanyak 500 yang aktif seharusnya sudah memberikan laporannya," ujar Faelasufa saat Pelatihan Basic Greenhouse Gases Calculation untuk media yang diselenggarakan oleh Sun Energy di Jakarta, Kamis (21/3).
Dia mengatakan, emiten yang tidak melaporkan emisi GRK kegiatan usahanya akan mendapatkan teguran dari Bursa Efek Indonesia. Selain itu, laporan penghitungan emisi GRK akan mempermudah emiten dalam mendapatkan investasi hijau yang semakin meningkat saat ini.