Anak-anak Korea Selatan Gugat Kebijakan Iklim Pemerintah
Para penggugat, pengacara, dan aktivis meneriakkan slogan-slogan di luar pengadilan konstitusional Korea Selatan, pada hari Selasa (23/4). Anak-anak juga terlihat ikut dalam rombongan tersebut.
Melansir laporan npr.org dan Reuters, sidang ini merupakan litigasi terkait iklim pertama di Asia. Kasus ini mencakup empat petisi dari anak-anak dan bayi, termasuk satu petisi yang berasal dari tahun 2020, serta satu petisi dari janin yang saat itu masih bernama Woodpecker.
Woodpecker adalah nama panggilan Choi Heewoo, anak bungsu dari salah satu di antara lebih dari 250 penggugat yang terlibat dalam kasus Woodpecker dan kawan-kawan versus Pemerintah Korea Selatan. Para penggugat berargumen bahwa pemerintah tidak secara efektif menangani perubahan iklim, sehingga melanggar hak asasi warganya.
Lee Jongseok, Ketua Mahkamah Konstitusi, mengatakan tuntutan hukum terkait iklim merupakan tren global yang semakin meningkat dan menarik perhatian publik. “Pengadilan mengakui pentingnya dan kepentingan publik dari kasus ini dan akan melakukan upaya untuk memastikan bahwa pertimbangan dilakukan secara menyeluruh,” kata Jongseok, seperti dikutip Reuters.
Sidang ini diadakan beberapa minggu setelah pengadilan hak asasi manusia tertinggi di Eropa memutuskan bahwa pemerintah Swiss telah melanggar hak-hak warganya. Pemerintah Swiss dinilai tidak melakukan cukup banyak hal untuk memerangi perubahan iklim. Pengadilan di Australia, Brasil, dan Peru juga mempertimbangkan kasus-kasus serupa.
“Rencana iklim Korea Selatan saat ini tidak cukup untuk menjaga kenaikan suhu di bawah 1,5 derajat Celcius, sehingga melanggar kewajiban negara untuk melindungi hak-hak fundamental,” kata para penggugat dalam sebuah pernyataan.
Para ilmuwan mengatakan bahwa kenaikan suhu global di atas 1,5 derajat Celsius, di atas rata-rata pra-industri. Kenaikan suhu ini akan memicu dampak yang sangat besar dan tidak dapat dipulihkan, mulai dari melelehnya lapisan es hingga runtuhnya arus laut.
Pembakaran bahan bakar fosil, dan emisi karbon yang dihasilkan, telah dikaitkan dengan peningkatan suhu. Ekonomi Korea Selatan sangat bergantung pada bahan bakar tersebut untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Korea Selatan telah berupaya untuk mencapai netralitas karbon pada tahun 2050.
Pemerintah Lambat dalam Menangani Masalah Iklim
Pengacara pemerintah mengatakan kepada pengadilan bahwa pihak berwenang telah melakukan segala upaya untuk mengurangi emisi karbon dan tidak melanggar hak-hak dasar rakyatnya. Mereka menambahkan bahwa pemerintah tidak mendiskriminasi kaum muda, dan mungkin akan ada penyesuaian terhadap target tahunan pengurangan karbon. Namun, beberapa aktivis mengatakan bahwa tanggapan pemerintah tidak memuaskan.
Puluhan anak muda, termasuk Woodpecker yang kini berusia satu tahun, berkumpul di luar pengadilan. Beberapa di antaranya melontarkan kritik terhadap apa yang mereka sebut sebagai kelambanan pemerintah dalam menghadapi perubahan iklim.
“Pengurangan emisi karbon terus ditunda-tunda seolah-olah ini adalah pekerjaan rumah yang bisa dilakukan nanti. Beban itu akan ditanggung oleh anak-anak kita,” ujar ibu Woodpecker, Lee Donghyun.
Ia mengatakan bahwa anak-anaknya hidup dalam ketakutan. “Karena ada gunung di belakang rumah kami, anak-anak mengatakan bahwa rumah kami bisa tertimpa longsor. Dan siapa yang tahu? Itu bisa saja terjadi,” kata Namkung Sujin.
Tahun lalu, Korea Selatan merevisi turun target 2030 untuk pengurangan gas rumah kaca di sektor industri. Namun, negara ginseng itu tetap mempertahankan target nasional untuk mengurangi emisi sebesar 40% dari tingkat emisi tahun 2018. Pemerintah menggambarkan langkah tersebut sebagai perubahan yang wajar.