Negara ASEAN Berpotensi Masuk Jebakan Karbon Imbas Teknologi CCUS

Image title
26 Juni 2024, 14:08
Indonesia menetapkan target Net Zero Emission (NZE) pada 2060. Salah satu upaya untuk menurunkan emisi karbon secara signifikan adalah dengan memanfaatkan teknologi Carbon Capture and Storage (CCS).
123RF.com/Dilok Klaisataporn
Indonesia menetapkan target Net Zero Emission (NZE) pada 2060. Salah satu upaya untuk menurunkan emisi karbon secara signifikan adalah dengan memanfaatkan teknologi Carbon Capture and Storage (CCS).
Button AI Summarize

Negara ASEAN berpotensi masuk dalam jebakan karbon dalam jangka panjang dan mempersulit transisi energi, jika menjalankan rekomendasi dari ASEAN Centre for Energy (ACE) dalam laporan the Role of Coal yang dirilis pada Mei 2024.

Dalam laporan tersebut, ACE merekomendasikan untuk tetap mempertahankan batubara sebagai salah satu sumber energi yang penting dengan penggunaan Carbon Capture and Storage (CCS) dan Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS).

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, mengatakan rekomendasi tersebut berpotensi membuat emisi karbon meningkat, peningkatan risiko aset mangkrak (stranded asset) dari energi fosil, dan potensi ekonomi biaya tinggi

“Merekomendasikan teknologi ini, semata-mata untuk mempertahankan operasi PLTU dan melanggengkan ketergantungan sejumlah negara ASEAN untuk mengimpor batubara merupakan saran yang tidak bijak," ujar Fabby dalam keterangan tertulis, Rabu (26/6).

Dia mengatakan, penggunaan teknologi tersebut dapat menghambat akselerasi energi terbarukan yang lebih murah, terjangkau, dan rendah risiko untuk menurunkan emisi karbon dalam rangka mencegah kenaikan temperatur di atas 1,5°C. Berdasarkan kajian-kajian terbaru, teknologi CCS/CCUS tidak dipandang sebagai teknologi yang handal dan berbiaya murah untuk menekan emisi karbon dari PLTU.

Fabby mengatakan, pengalaman sejumlah proyek di berbagai negara menunjukan penggunaan CCS/CCUS di PLTU tidak efektif menangkap karbon, berbiaya tinggi dan berisiko tinggi secara finansial. Keinginan untuk mempertahankan PLTU batubara justru bertentangan dengan pandangan lebih dari 60 persen warga di ASEAN Member State atau AMS yang menolak pembangunan PLTU baru dan menginginkan untuk pengakhiran secara bertahap (phase out) PLTU, sesuai survei ISEAS di 2022.

“Temuan dari First Global Stocktake mendorong komunitas global untuk menghentikan penggunaan bahan bakar fosil dan meningkatkan tiga kali lipat energi terbarukan pada tahun 2030," ujarnya.

Dia mengatakan, penggunaan CCS dan CCUS pada pembangkit batubara sampain dengan saat ini belum terbukti signifikan untuk menurunkan emisi gas rumah kaca. Selain itu, CCUS secara ekonomi kurang layak dan tidak efisien secara finansial dengan risiko aset mangkrak yang lebih besar.

"Jika ASEAN tetap bergantung batubara, jelas akan menimbulkan keraguan terhadap komitmen kepemimpinan ASEAN dalam mitigasi perubahan iklim," ujarnya.

Kejar Target Bauran EBT ASEAN

Manajer Riset IESR, Raditya Wiranegara, mengatakan ASEAN perlu serius mengejar target pengembangan energi terbarukan. Bauran energi terbarukan perlu mencapai sebesar 57 persen pada 2030 dan 90-100 persen bauran energi terbarukan pada 2050.

Menurutnya, manfaat ekonomi dari batubara akan tergerus seiring dengan berjalannya transisi energi yang mengedepankan energi terbarukan di berbagai negara.

"Komitmen pengakhiran operasional PLTU batubara secara dini dan terencana yang diambil AMS justru akan menarik investasi terhadap pengembangan energi terbarukan,” ujar Raditya.

Selain itu, usulan laporan ACE yang menempatkan batubara sebagai bahan bakar transisi dalam sistem energi, dinilai dapat mengaburkan komitmen  ASEAN Member States (AMS) terhadap Persetujuan Paris. Hal ini mengirimkan sinyal campuran ke iklim investasi energi terbarukan di kawasan ini sehingga dapat mengurangi minat investasi dalam pengembangan energi terbarukan.

Sementara itu, Koordinator Proyek Diplomasi Iklim, Arief Rosadi menyatakan, pengembangan energi terbarukan di kawasan ASEAN lebih bermanfaat bagi perekonomian. Berdasarkan studi IESR, Asia Tenggara merupakan eksportir modul panel surya dengan kapasitas 64 GW pada 2023. Vietnam, Malaysia, dan Thailand memproduksi sekitar 11 persen pasokan global.

Arief mengatakan, peningkatan permintaan PLTS di Asia Tenggara untuk mendukung transisi energi bersih dapat memberikan kesempatan berkembangnya manufaktur rantai pasok sel dan modul surya di Indonesia.

“Pemanfaatan potensi dan proses kolaboratif tersebut pada akhirnya akan mendorong pengembangan industri transisi energi di kawasan dan dapat berkontribusi terhadap penguatan fondasi ekonomi ASEAN untuk mewujudkan pusat pertumbuhan atau epicentrum of growth dunia,” ujar Arief.

Reporter: Djati Waluyo

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...