AEER soal BASF dan Eramet Batal Investasi: Perbaiki Tata Kelola Nikel
Perusahaan bahan kimia Jerman, Badische Anilin Soda Fabrik (BASF), dan perusahaan tambang Perancis, Eramet, mundur dari investasi bernama proyek Sonic Bay dikarenakan adanya perubahan kondisi pasar nikel. Kendati perusahaan menggunakan alasan perubahan pasar nikel global, Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) menilai persoalan lingkungan dan sosial turut menjadi pertimbangan investor luar negeri.
"BASF dan Eramet tentu tidak ingin bila investasi besar mereka senilai Rp 42,64 triliun dalam proyek Sonic Bay nantinya justru menimbulkan reputasi buruk dalam hal lingkungan dan sosial," kata Koordinator AEER, Pius Ginting, dikutip Jumat (28/6).
Pius menyerukan Eramet Group dan Tsingshan Holding Group untuk perbaiki praktik-praktik industri nikel di Halmahera Tengah. Pasalnya, kedua perusahaan tersebut menguasai 90% saham Weda Bay Nickel (WBN) yang berlokasi di Kawasan Industri Weda Bay (IWIP).
Dia mengatakan, Uni Eropasudah memberlakukan Corporate Sustainability Due Diligence Directive (CSDDD) yang secara ketat memastikan operasi perusahaan untuk menghormati hak asasi masyarakat (HAM) dan lingkungan hidup. Pada April 2024, Uni Eropa menyetujui CSDDD, aturan yang mewajibkan perusahaan asal Eropa untuk menghormati hak asasi manusia dan perlindungan lingkungan di seluruh rantai pasok mereka.
Berdasarkan Lampiran CSDDD Bagian 1, angka 15, disebutkan bahwa perusahaan dilarang menyebabkan degradasi lingkungan yang dapat diukur, seperti perubahan tanah yang berbahaya, polusi air atau udara, emisi berbahaya, konsumsi air yang berlebihan, degradasi lahan, atau dampak lain terhadap sumber daya alam, seperti penggundulan hutan.
Terkait dengan situasi perubahan iklim, Pasal 22 CSDDD mewajibkan perusahaan untuk mengadopsi dan melakukan upaya terbaik untuk memerangi perubahan iklim. Sementara itu berdasarkan data Global Energy Monitor (GEM), sumber energi di kawasan IWIP disuplai dari PLTU batubara, setidaknya yang telah beroperasi sebesar 3.150 MW.
Dia mengatakan, Prancis, Cina, dan Indonesia belum meratifikasi Konvensi ILO 169. Hal itu berbeda halnya dengan Jerman sebagai negara asal BASF.
Alasan BASF Batal Investasi
Sebelumnya, perusahaan kimia asal Jerman, BASF, telah mengumumkan untuk keluar dari proyek pabrik bahan baku baterai kendaraan listrik yang merupakan hasil kongsi dengan Eramet. Perusahaan menyebut pasar nikel global telah berubah signifikan sejak proyek tersebut dimulai sehingga perusahaan menilai tidak perlu lagi melakukan investasi besar di proyek tersebut.
Sementara itu, Manajemen BASF menyatakan bahwa perusahaan tidak akan mengevaluasi lebih lanjut potensi investasi di kompleks pemurnian nikel-kobalt di Weda Bay, Halmahera Tengah, Indonesia. Pada 2020, BASF dan Eramet, menandatangani perjanjian untuk menilai potensi proyek baterai kendaraan listrik, dengan nilai investasi yang diperkirakan mencapai US$2,6 miliar atau Rp 42,72 triliun.
"Setelah melakukan evaluasi menyeluruh, kami menyimpulkan bahwa kami tidak akan melaksanakan proyek pemurnian nikel-kobalt di Weda Bay. Sejak dimulainya proyek tersebut, pasar nikel global telah berubah secara signifikan," kata Anup Kothari, Anggota Dewan Direktur Eksekutif BASF SE, dalam penjelasan di situs perusahaan, dikutip Kamis (27/6).
Kothari menyebut opsi pasokan telah berevolusi, termasuk untuk bahan baku baterai yang dibutuhkan BASF. Oleh karena itu, BASF menilai tidak perlu lagi melakukan investasi yang begitu besar untuk memastikan pasokan logam yang tangguh untuk bisnis bahan baterainya. Perusahaan akan menghentikan semua kegiatan evaluasi dan negosiasi yang sedang berlangsung untuk proyek di Weda Bay.
"Pasokan bahan baku penting yang aman, bertanggung jawab, dan berkelanjutan untuk produksi bahan aktif katoda prekursor, yang mungkin juga berasal dari Indonesia, tetap penting untuk pengembangan masa depan bisnis bahan baterai kami," kata Daniel Schönfelder, Presiden divisi Katalis BASF.