Konflik dengan Masyarakat Adat Perlu Dihindari Demi Selamatkan Hutan

Image title
15 Juli 2024, 17:51
Seorang warga masyarakat adat Suku Talang Mamak melintas di jalan kawasan restorasi Alam Bukit Tigapuluh, Semerantihan, Tebo, Jambi, Selasa (13/2/2024).
ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan/Spt.
Seorang warga masyarakat adat Suku Talang Mamak melintas di jalan kawasan restorasi Alam Bukit Tigapuluh, Semerantihan, Tebo, Jambi, Selasa (13/2/2024).
Button AI SummarizeBuat ringkasan dengan AI

Konflik antara  pemerintah dengan masyarakat adat perlu dihindari untuk menyelamatkan  hutan khususnya kawasan konservasi. Konflik yang dapat menimbulkan hilangnya nyawa seharusnya bisa dihindari dengan adanya diskusi antara masyarakat adat dan juga pemerintah 

"Karena konflik sebetulnya bisa diselesaikan dan tidak membawa korban kalau pejabatnya mau duduk bersama membicarakan batas kawasan itu," ujar Mantan Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (Dirjen KSDAE), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Wiratno, melalui siaran Youtube, Senin (15/7). Wiratno melakukan bedah buku yang dia tulis, berjudul "Evolusi Pengelolaan Taman Nasional di Indonesia".

Wiratno mengatakan, masyarakat adat berperan dalam menjaga hutan dan alam. Konflik dengan masyarakat adat dapat mengganggu peran tersebut.

Ia mencontohkan, pernah mengalami kasus yang berkaitan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) ketika bertugas di Balai Besar konservasi sumber daya alam (KSDA) Nusa Tenggara Timur.

Wiratno menyebut, kisah “Rabu Berdarah” yang dialami oleh petani kopi colol dari Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur menyisakan luka yang cukup mendalam bagi warga maupun aparat pemerintah terkait.

“Buku Rabu Berdarah ini petani kopi yang meninggal, 6 orang meninggal dan puluhan luka permanen sampai dengan saat ini,” ujarnya.

Sejak menjabat sebagai Direktur Jenderal KSDAE, Wiratno menyebut telah menyelesaikan 200 ribu kemitraan konservasi untuk daerah-daerah Taman Nasional atau kawasan konservasi lain yang memang sudah ada masyarakatnya.

Kondisi tersebut terjadi jauh sebelum ditetapkan kawasan itu menjadi hutan negara yang namanya Taman Nasional.

Dia mengatakan, kerusakan alam lebih banyak terjadi akibat ulah manusia sejak revolusi industri pada 1850. "Sayangnya yang disalahkan pertumbuhan penduduk, tapi sebetulnya tidak. Manusia bisa menjadi kunci perubahaan, dia lah yang juga mampu menyelamatkan kawasan hutan kita," ujar Wiratno.

Menurut laporan Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), luaswilayah adat yang sudah diregistrasi per 18 Maret 2024 mencapai 28,2 juta hektare (ha) yang mencakup 1.425 wilayah adat di 33 provinsi dan 161 kabupaten/kota.

Sementara, luas wilayah adat yang sudah mendapatkan penetapan status pengakuan oleh pemerintah hanya 3,9 juta ha. 

Reporter: Djati Waluyo

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...