BMKG Ungkap Penyebab Suhu Dingin di Tengah Musim Kemarau

Image title
18 Juli 2024, 05:55
Embun Upas
Instagram/@oralone
Embun Upas
Button AI SummarizeBuat ringkasan dengan AI

Udara dingin menyelimuti sejumlah wilayah Indonesia akhir-akhir ini, terutama saat malam hingga pagi hari. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengatakan fenomena suhu udara yang turun di tengah musim kemarau di beberapa wilayah di Indonesia disebabkan oleh fenomena bediding.

Kepala Pusat Informasi Perubahan Iklim BMKG, A. Fachri Radjab, mengatakan fenomena bediding adalah kejadian dimana terjadi perubahan suhu drastis dari sangat dingin pada malam hingga pagi hari, menjadi sangat terik pada siang hari.

"Fenomena ini sebenarnya adalah hal yang alamiah terjadi di bulan-bulan puncak musim kemarau, yakni di bulan Juli sampai dengan September," ujar Fachri saat dikonfirmasi Katadata, Rabu (17/7).

Dia mengatakan, kondisi tersebut terjadi lantaran tutupan awan sangat minimum pada musim kemarau sehingga matahari akan sangat terik pada siang hari. Tidak adanya objek di langit yang menghalau sinar matahari menyebabkan suhu udara pun jadi menyengat.

Sama dengan siang hari, radiasi yang dipancarkan balik oleh permukaan bumi pada malam hari juga optimum karena langit bebas dari tutupan awan. Pancaran radiasi gelombang panjang dari bumi ini diiringi dengan penurunan suhu yang signifikan pada malam hari, dan mencapai puncaknya saat sebelum matahari terbit.

"Dampaknya suhu rendah bagi masyarakat. Pada lokasi tertentu kadang disertai fenomena embun beku seperti di Dieng yang dapat merusak tanaman perkebunan," ujarnya.

Kemarau Akan Lebih Pendek

Sementara itu, Peneliti Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN, Eddy Hermawan, mengatakan musim kemarau tahun ini diprediksi akan lebih pendek imbas fenomena La Nina. Fenomena La Nina belum menunjukkan eksistensinya bulan ini, tetapi dampaknya sudah terasa.

"Kita sekarang merasakan langit sering mendung dan turun hujan gerimis," ujarnya dikutip dari Antara, Selasa (9/7).

Fenomena La Nina adalah pola iklim berulang yang melibatkan perubahan suhu permukaan laut di Samudera Pasifik. Selama La Nina berlangsung, suhu permukaan laut di sepanjang timur dan tengah Samudera Pasifik mengalami penurunan sebanyak 3 sampai 5 derajat Celcius dari suhu normal.

Suhu permukaan laut yang mendingin mengurangi pertumbuhan awan hujan di bagian timur dan tengah Samudera Pasifik, lalu meningkatkan curah hujan di wilayah khatulistiwa, terkhusus Indonesia.

Eddy menuturkan fenomena La Nina kali ini diprediksi berlangsung hingga akhir Februari atau awal Maret 2025. Menurutnya, kemunculan La Nina membuat puncak musim kemarau di Indonesia yang terjadi pada Agustus dan September 2024 cenderung basah.

"Puncaknya kemarau pada Agustus dan September akan diimbangi dengan mulai menguatnya La Nina pada saat itu. Jadi, tidak ada efek kemarau yang panas," kata Eddy.

Lebih lanjut, dia mengingatkan berbagai dampak yang timbul akibat fenomena La Nina berupa limpahan air berlebihan ke lahan-lahan pertanian. Jika lahan pertanian terendam banjir bisa mempengaruhi angka produksi pangan. Bahkan La Nina juga bisa membangkitkan awan-awan besar yang berpotensi mengganggu aktivitas penerbangan.

"Banyak efek yang ditimbulkan. Kalau ingin bepergian harus bebas dari awan-awan besar karena La Nina menyebabkan awan-awan besar gagal meninggalkan Indonesia," ujar Eddy Hermawan.



Reporter: Djati Waluyo

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...