CSIS: Pembangunan Ekonomi Hijau RI Butuh Perubahan Anggaran Subsidi Energi
Pembangunan ekonomi hijau di Indonesia memerlukan perubahan alokasi anggaran subsidi energi. Pasalnya, subsidi energi terus meningkat setiap tahunnya.
Hal itu dikatakan Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Yose Rizal Damuri, saat ditemui di kantor CSIS, Jakarta, Senin (19/8).
Dia mengatakan, pemerintah dan masyrakat perlu merubah pola pikirnya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi hijau di Indonesia. Namun, hal itu belum optimal dilakukan oleh masyarakat maupun pemerintah Indonesia.
Menurut Yose, pemerintah perlu serius dalam mengalokasikan anggaran untuk ekonomi pembangunan hijau. Khususnya anggaran mengenai subsidi energi yang bertolak belakang dengan konsep ekonomi hijau.
Dia mengatakan, ekonomi hijau erat kaitanya dengan transisi energi. Dengan begitu, besarnya angka subsidi energi untuk bahan bakar minyak (BBM) dan LPG sangat bertolak belakang dengan visi transisi energi di Indonesia.
"Ekonomi hijau dimensi yang paling besar adalah masalah transisi energi dan kita sudah membahas bahwa subsidi energi akan membuat transisi energi kita terhalang," ujarnya.
Sebagai informasi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan alokasi subsidi energi mencapai Rp 186,9 triliun pada 2024. Subsidi tersebut terdiri atas subsidi BBM dan elpiji (LPG) sebesar Rp 113,3 triliun serta subsidi listrik Rp73,6 triliun.
Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan, jumlah subsidi tersebut meningkat, demi mengantisipasi dampak kenaikan harga bahan baku minyak mentah dan permintaan yang cukup tinggi dari masyarakat.
"Kita juga melihat [subsidi] listrik meningkat menjadi Rp 73,6 triliun, total subsidi energi Rp186,9 triliun," kata Arifin dilansir dari Antara, Selasa (16/1).