Jakarta Masuk Lima Besar Kota Paling Berpolusi di Dunia Hari Ini
Jakarta kembali masuk ke dalam lima besar kota dengan kualitas udara terburuk di dunia pada Senin pagi (26/8). Berdasarkan data yang dihimpun situs pemantau kualitas udara IQAir pada pukul 09.16 WIB, Indeks Kualitas Udara (AQI) Jakarta berada di peringkat ketiga dengan poin sebesar 144 atau berada dalam kategori tidak sehat untuk kelompok sensitif.
Angka tersebut menunjukkan bahwa kualitas udara di wilayah tersebut tidak sehat bagi manusia untuk beraktivitas di luar. Angka tersebut juga menunjukkan bahwa kualitas udara tidak sehat bisa merugikan manusia atau kelompok hewan yang sensitif, serta bisa menimbulkan kerusakan pada tumbuhan maupun nilai estetika.
Selain Jakarta, terdapat dua kota di Indonesia yang masuk dalam 40 besar kota dengan kualitas udara terburuk di dunia. Kedua kota tersebut adalah Batam dan Medan.
Batam menempati posisi ke-17 dengan Indeks AQI sebesar 85 dan Batam menempati posisi ke-37 dengan Indeks AQI sebesar 62 atau berada pada kategori sedang.
Kategori sedang berarti kualitas udaranya yang tidak berpengaruh pada kesehatan manusia ataupun hewan. Akan tetapi, kualitas udara tersebut akan berpengaruh pada tumbuhan yang sensitif dan nilai estetika dengan rentang PM2,5 sebesar 51-100.
Kinshasa di Kongo menempati posisi pertama atau kota dengan kualitas udara terburuk di dunia dengan AQI poin sebesar 168. Posisi kedua ditempati oleh Kuwait City di Kuwait dengan AQI poin sebesar 160. Accra di Ghana menempati posisi kempat dengan AQI Poin sebesar 134. Adapun Manama di Bahrain berada di posisi kelima dengan AQI Poin sebesar 122.
Jakarta Butuh 71 Titik Stasiun Pemantau Kualitas Udara
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyatakan Jakarta saat ini memerlukan 71 titik Stasiun Pemantau Kualitas Udara (SPKU) agar intervensi kebijakan dapat diambil dengan tepat terkait kualitas udara, baik sektor kesehatan, pendidikan, maupun transportasi.
"Saat ini baru terealisasi 31 titik," kata Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Asep Kuswanto di Jakarta, Selasa. Ia menjelaskan, kebutuhan data yang akurat terkait SPKU juga dibutuhkan dari sektor kesehatan, pendidikan dan transportasi.
Menurut dia, 31 titik SPKU yang tersebar di wilayah DKI itu masih sangat kurang untuk memantau kualitas udara di Jakarta. Dari hasil kajian yang ada, menurut dia, kebutuhan SPKU di DKI mencapai 71 unit atau sekitar empat SPKU per kecamatan.
"Kami memang sudah mengkaji kebutuhan SPKU dan jumlah 71 unit ini merupakan kajian," katanya.
Dengan adanya SPKU ini, menurut dia, banyak intervensi kebijakan yang dapat diambil dengan tepat terkait kualitas udara, baik sektor kesehatan, pendidikan, maupun transportasi.
Ia mencontohkan kebijakan pada sektor kesehatan. Dengan adanya akurasi data terkait kualitas udara di suatu daerah, menurut dia, petugas atau dinas kesehatan dapat mengintervensi melalui persiapan obat-obatan terutama yang berhubungan dengan penyakit infeksi saluran pernapasan atas (ISPA).
Ini juga berlaku pada kebijakan di sektor transportasi. Menurut dia, maka petugas Dinas Perhubungan dapat memberlakukan sejumlah rekayasa dalam mengurangi jumlah kendaraan ketika di suatu lokasi kualitas udara memburuk.
"Akurasi data terkait kualitas udara untuk dinas kesehatan nanti bisa menentukan intervensi terhadap kondisi penyakit yang diderita. Ini bisa merujuk dari data yang dihasilkan oleh SPKU," katanya.