Indonesia Setujui Pembentukan Badan Permanen Masyarakat Adat di COP16
Setelah dua minggu negosiasi yang alot, Kolombia sebagai tuan rumah kepresidenan Konvensi Keanekaragaman Hayati ke-16 (COP16) mencatat sejarah. COP16 menyepakati pembentukan lembaga permanen baru yang disebut dengan Subsidiary Body on Article 8j (SB8j).
Pemerintah Indonesia, yang pada awalnya menolak pembentukan badan ini, pada hari terakhir konferensi mengambil langkah progresif turut mendukung pembentukan Subsidiary Body on Article 8j. Pada pernyataan terakhirnya, delegasi Indonesia menyampaikan komitmen kuat untuk mendukung pengakuan terhadap masyarakat adat.
Delegasi Indonesia juga menjunjung semangat kompromi antar negara anggota CBD sebagai alasan perubahan sikap tersebut. Hal ini menunjukan keseriusan pemerintah untuk terus melibatkan dan memenuhi hak-hak masyarakat adat dan lokal dalam rangka implementasi KM-GBF dan konvensi CBD.
“Indonesia mengakui kontribusi masyarakat adat dan komunitas lokal (IPLC) dan mengakui IPLCs sebagai bagian dari proses semua dokumen yang dibangun dibawah CBD,” kata Lu’lu’ Agustiana, Analis Kebijakan Ahli Madya, Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati Spesies dan Genetik, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai salah satu delegasi Republik Indonesia di CBD Kolombia, pada Jumat (1/11).
Namun, untuk meningkatkan status pengakuan ke level lebih tinggi, Indonesia membutuhkan kejelasan bagaimana mekanisme akan dijalankan. Kejelasan inilah yang menjadi kekhawatiran delegasi RI selama perundingan di CBD.
“Langkah berikutnya adalah bagaimana badan baru ini, Subsidiary Body 8j, dapat menunjukkan kinerja dengan baik sesuai dengan amanat yang kita tetapkan hari ini secara fair dan terbuka,” kata Lu’lu’.
Secara garis besar, Article 8j berkaitan dengan penghormatan, perlindungan dan pengakuan pengetahuan tradisional, inovasi dan praktik yang dilakukan masyarakat adat dalam mengatasi perubahan iklim dan relevan dengan prinsip-prinsip konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan dari keanekaragaman hayati.
Pembentukan Subsidiary Body Article 8j bertujuan membantu memberikan saran, rekomendasi, dan panduan untuk menjalankan target-target yang disepakati dunia dalam Kunming Montreal Global Biodiversity Framework (KM-GBF).
Sebagai catatan, dari berbagai negosiasi yang terjadi sepanjang pertemuan di Jenewa maupun di Kolombia COP-16, setidaknya ada beberapa perhatian khusus dari negara-negara tersebut terhadap agenda pembentukan SB8j, antara lain:
1. Bagaimana posisi Subsidiary Body 8j dengan mekanisme Subsidiary Body lainnya, seperti Subsidiary Body on Scientific, Technical and Technological Advice (SBSTTA) dan Subsidiary Body on Implementation (SBI)?
2. Apa yang menjadi nilai tambah dari perubahan Working Group on Article 8j menjadi Subsidiary Body on Article 8j? Apakah akan ada implikasi pembiayaan dari pembentukan SB8j yang akan membebankan negara anggota CBD (parties)
3. Apakah Subsidiary Body on Article 8j akan menggantikan peran negara dalam negosiasi CBD?
Apresiasi dan Harapan Masyarakat Sipil
Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) Kasmita Widodo mengatakan, dukungan pemerintah Indonesia terhadap pembentukan badan permanen masyarakat adat dan komunitas lokal ini ini perlu diselaraskan dengan rencana aksi dan strategi keanekaragaman hayati Indonesia atau IBSAP.
“Kami berharap ini menjadi pengakuan dan perlindungan penuh terhadap wilayah adat dengan segala keanekaragaman hayatinya serta kearifan lokal masyarakat adat,” kata Kasmita dalam siaran pers, Sabtu (2/11).
Ketua Auriga Nusantara Timer Manurung mengatakan, kesepakatan di konferensi keanekaragaman hayati ini seyogianya diwujudkan melalui pengakuan dan perlindungan wilayah adat dalam wilayah dan rencana aksi konservasi, seperti IBSAP. Selain itu, pemerintah perlu menunjuk atau menetapkan zonasi kawasan konservasi dan rencana aksi konservasi spesies.
“Indonesia akhirnya bisa menunjukkan keberpihakannya terhadap masyarakat adat di komunitas global, dan menjalankan mandat konstitusi untuk terus mengakui dan menghormati hak-hak masyarakat adat sebagaimana tertuang dalam Pasal 18 B Ayat (2) Konstitusi,” kata Syahrul Fitra, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia yang hadir pada sidang akhir COP-16.
Cindy Julianti, Program Manager Working Group Indigenous Peoples' and Community Conserved Areas and Territories Indonesia (WGII), menggarisbawahi pekerjaan rumah yang harus dikerjakan menyusul pengesahan Article 8J. Ada kebutuhan untuk menyusun berbagai panduan dan rekomendasi, bagaimana cara menghitung dan mengakui kontribusi Masyarakat Adat dan Lokal untuk implementasi target Kunming Montreal - Global Biodiversity Framework.
Cindy mengatakan, di level nasional sebetulnya ada keterkaitan kuat antara Article 8j dengan dokumen IBSAP yang sudah diterbitkan pemerintah, khususnya target soal partisipasi masyarakat adat dan komunitas lokal.
“Keberadaan Subsidiary Body on Article 8j merupakan tonggak sejarah. Konvensi CBD benar-benar menempatkan masyarakat adat dan komunitas lokal sebagai aktor penting dalam implementasi KM-GBF,” kata Cindy Julianty.
Langkah yang diambil pemerintah Indonesia ini patut mendapat apresiasi, dan menjadi warisan penting bagi performa pemerintah dalam negosiasi di level internasional. Masyarakat sipil berharap hal ini dapat diamplifikasi pada forum lain seperti konferensi perubahan iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau COP29 di Azerbaijan.
Bimantara Adjie mewakili Perkumpulan HuMa mengatakan pekerjaan rumah yang tak kalah penting adalah pengesahan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat yang tertunda sejak tahun 2012.
“Pemerintah perlu meneruskan budaya hukum yang memiliki keberpihakan pada masyarakat adat dan kelompok minoritas lainnya dalam pembentukan produk kebijakan di berbagai level, termasuk upaya untuk mengakui hak-hak mereka atas wilayah dan sumberdaya alam sebagaimana dimandatkan oleh konstitusi,” kata Bimantara Adjie.