COP29 Harus Hasilkan Solusi Pendanaan Iklim untuk Negara-negara Miskin
Para negosiator yang hadir di Konferensi Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau COP29 di Baku, Azerbaijan diperingatkan untuk segera membayar dana yang dibutuhkan negara-negara miskin mengatasi perubahan iklim. Para ahli memperkirakan negara-negara miskin setidaknya butuh US$1 triliun (Rp 15,92 kuadriliun) per tahun pada akhir dekade ini untuk beralih ke energi yang lebih ramah lingkungan dan melindungi diri dari cuaca ekstrem.
Pendanaan adalah fokus utama dari pembicaraan iklim COP29. Keberhasilan pertemuan ini kemungkinan besar akan dinilai dari apakah negara-negara dapat menyetujui target baru untuk berapa banyak yang harus diberikan oleh negara-negara kaya, bank pembangunan, dan sektor swasta kepada negara-negara berkembang untuk membiayai aksi iklim.
Target sebelumnya sebesar US$100 miliar (Rp 1.591,9 triliun) per tahun, akan berakhir pada tahun 2025. Meskipun sebagian besar dari target tersebut dalam bentuk pinjaman dan bukan hibah, sesuatu yang menurut negara-negara penerima perlu diubah.
Sebuah laporan dari Kelompok Ahli Tingkat Tinggi Independen untuk Pendanaan Iklim mengatakan target pendanaan iklim tahunan perlu ditingkatkan menjadi US$1,3 triliun (Rp 20,69 kuadriliun) per tahun pada tahun 2035. Angka ini bahkan bisa lebih tinggi lagi jika negara-negara tersebut tidak segera bertindak.
“Setiap kekurangan investasi sebelum tahun 2030 akan memberikan tekanan tambahan pada tahun-tahun berikutnya, menciptakan jalan yang lebih curam dan berpotensi lebih mahal untuk mencapai stabilitas iklim,” ujar laporan tersebut, seperti dikutip Reuters, Kamis (14/11).
Di balik layar, para negosiator sedang mengerjakan draf naskah kesepakatan. Namun, sejauh ini dokumen tahap awal yang diterbitkan oleh badan iklim PBB hanya mencerminkan berbagai macam pandangan yang berbeda di sekitar meja perundingan. Tidak ada gambaran tentang ke mana pembicaraan tersebut akan berakhir.
Kesepakatan apa pun kemungkinan besar akan diperjuangkan dengan susah payah mengingat keengganan di antara banyak pemerintah Barat - yang telah berkontribusi sejak Perjanjian Paris pada tahun 2015 - untuk memberikan lebih banyak kecuali jika negara-negara termasuk Tiongkok setuju untuk bergabung dengan mereka.
Kemungkinan penarikan diri Amerika Serikat (AS) dari kesepakatan pendanaan di masa depan oleh Presiden Donald Trump juga telah membayangi pembicaraan di COP29. Hal ini meningkatkan tekanan pada para delegasi untuk menemukan cara lain untuk mendapatkan dana yang dibutuhkan.
Di antara mereka terdapat bank-bank pembangunan multilateral dunia seperti Bank Dunia, yang didanai oleh negara-negara kaya dan sedang dalam proses reformasi agar dapat memberikan pinjaman yang lebih besar.
Sepuluh bank pembangunan terbesar telah mengumumkan rencana untuk meningkatkan pendanaan iklim mereka sekitar 60% menjadi US$120 miliar (Rp 1.910 triliun) per tahun pada 2030. Sekitar US$65 miliar (Rp 1.305 triliun) di antaranya merupakan tambahan dari sektor swasta.
Dorongan untuk menggalang dana segar dengan mengenakan pajak pada sektor-sektor yang menimbulkan polusi seperti penerbangan, bahan bakar fosil dan perkapalan, atau transaksi keuangan, mendapat dorongan. Pasalnya, semakin banyak negara yang menyatakan akan mempertimbangkannya, namun kesepakatan apa pun sepertinya tidak akan terjadi saat ini.
Perselisihan Diplomatik
Selama tiga hari berjalan, konferensi ini telah diwarnai beberapa pertengkaran diplomatik. Menteri Iklim Perancis Agnès Pannier-Runacher membatalkan kunjungannya ke COP29, pada Rabu (13/11), setelah Presiden Azerbaijan Ilham Aliyev menuduh Perancis melakukan “kejahatan” di wilayah luar negerinya di Karibia.
“Suara-suara dari komunitas-komunitas ini sering kali ditindas secara brutal oleh rezim-rezim di kota metropolitan mereka,” ujar Aliyev dalam konferensi tersebut.
Prancis dan Azerbaijan telah lama memiliki hubungan yang tegang karena dukungan Paris terhadap saingan Azerbaijan, Armenia. Permusuhan mereka memburuk tahun ini, karena Paris menuduh Baku ikut campur dan bersekongkol dalam kerusuhan di Kaledonia Baru.
“Terlepas dari ketidaksepakatan bilateral, COP harus menjadi tempat di mana semua pihak merasa bebas untuk datang dan bernegosiasi mengenai aksi iklim,” ujar komisioner iklim Uni Eropa, Wopke Hoekstra, dalam sebuah tulisan di X, seperti dikutip Reuters. Ia menilai kepresidenan COP29 memiliki tanggung jawab khusus untuk memungkinkan dan meningkatkan hal tersebut.
Hal ini terjadi setelah Aliyev menggunakan pidato pembukaannya untuk menuduh AS dan Uni Eropa munafik karena menguliahi negara-negara mengenai perubahan iklim sementara tetap menjadi konsumen dan produsen utama bahan bakar fosil.
Sementara itu, pemerintah Argentina telah menarik para negosiatornya dari perundingan COP29, kata dua orang diplomat pada acara tersebut kepada Reuters. Namun, kedua diplomat itu tidak mengetahui alasan dari keputusan tersebut.
Kedutaan Besar Argentina di Baku menolak untuk memberikan komentar. Presiden Argentina, Javier Milei, sebelumnya menyebut pemanasan global sebagai sebuah tipuan.
Liputan khusus COP 29 Azerbaijan ini didukung oleh: