Walhi Desak Regulasi Tentang Reklamasi dan Pasir Laut Dihapus


Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) mendesak pemerintah menghapus Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang reklamasi dan penambangan pasir laut. Pasalnya, aturan tersebut berpotensi merusak lingkungan.
Deputi Eksternal Wahana Lingkungan Hidup, Mukri Friatna, mengatakan dalam peraturan tersebut terdapat beberapa poin yang perlu di evaluasi yaitu kolaborasi antara pengusaha dan pemerintah dalam rekomendasi reklamasi.
"Rekomendasi ini sudah dialokasikan untuk reklamasi dan penambangan pasir laut seluas 30 meter, yang seharusnya tidak dilakukan di wilayah-wilayah yang hanya memiliki 21 meter," ujarnya dalam konferensi pers, Kamis (16/1).
Dia meminta pemerintah untuk segera mencabut pasal-pasal yang berkaitan dengan reklamasi yang merugikan lingkungan. Selain itu, dia juga meminta agar perlindungan lingkungan ditingkatkan.
Pagar Laut Tangerang
Dalam kesempatan itu, Mukri juga menduga pembangunan pagar laut sepanjang 30 kilometer yang berada di Kabupaten Tangerang sengaja dibangun untuk melakukan pembukaan lahan baru di laut atau reklamasi. Pembangunan tersebut searah dengan Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Tangerang Nomor 13 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Tangerang Tahun 2011-2031.
Pada pasal 2 ayat satu menyebutkan bahwa Kabupaten secara geografis terletak pada koordinat 106°20’–106°44’ Bujur Timur dan 5°58’–6°21’ Lintang Selatan, dengan luas daratan kurang lebih 95.961 hektar, ditambah kawasan reklamasi pantai dengan luas kurang lebih 9.000 hektar, dengan garis pantai kurang lebih 51 kilometer.
"Kalau menemukan luas Kabupaten Tangerang itu berbeda, yang satu angka 95.000, yang satu lebih dari 100.000, karena dia sudah memasukkan angka material reklamasi dalam wilayah. Itu salah satu faktor atau alasan kenapa kita sebut by design," ujar Mukri dalam konfrensi pers, di Jakarta, Kamis (16/1).
Mukri mengatakan, faktor lainya yang memperkuat pagar tersebut sudah direncanakan adalah data rencana strategis pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Dari aturan tersebut sudah dijelaskan lokasi, luasan, nama tempat dan investasi sebesar Rp 20 triliun.
Selain itu,pada rencana pembangunan jangka panjang Kabupaten Tangerang tahun 2025-2045, terdapat pasal yang menggambarkan akan menjadikan pantai utara sebagai kota baru dengan strategi reklamasi.
"Itu gak pernah hilang. Saya bilang by design, tata ruangnya ada. RPJMD ada. Rencana pengelolaan wilayah pesisir, pulau-pulau kecil ada," ujarnya.
Dia meminta agar masyarakat dan pihak terkait untuk bersama-sama mendesak DPRD, DPR, dan pemerintah untuk meninjau kembali semua perizinan khusus Tata ruang. Pembangunan pagar di laut Tangerang memiliki motif bisnis atau menjual tanah dan air untuk kepentingan kelompok tertentu.
"Motifnya bisnis. Jadi dia jual perairan laut bangsa Indonesia. Jadi luar ngejual bangsa Indonesia," ucapnya.
berharap produk hukum yang berpotensi merugikan masyarakat, seperti
"Kami meminta agar pasal-pasal yang melemahkan lingkungan hidup dihapus. Jika tidak, dampaknya akan sangat merugikan," ujar Mukri dalam konferensi pers, Kamis (16/1).
Mukri mengatakan, beberapa regulasi yang ada tidak sejalan dengan upaya perlindungan lingkungan yang seharusnya menjadi prioritas. Adapun, salah satunya adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang reklamasi dan penambangan pasir laut.
ia mengatakan, dalam peraturan tersebut ada beberapa poin yang perlu di evaluasi yaitu kolaborasi antara pengusaha dan pemerintah dalam rekomendasi reklamasi.
"Rekomendasi ini sudah dialokasikan untuk reklamasi dan penambangan pasir laut seluas 30 meter, yang seharusnya tidak dilakukan di wilayah-wilayah yang hanya memiliki 21 meter," ujarnya.
Lanjutnya, ia meminta pemerintah untuk segera mencabut pasal-pasal yang berkaitan dengan reklamasi yang merugikan lingkungan.
"Kami meminta dengan tegas agar pasal-pasal terkait reklamasi segera dicabut. Anggaran untuk perlindungan lingkungan juga harus ditingkatkan," ucapnya.
Selain itu, Walhi juga melihat pentingnya menjaga hutan alam dan memastikan akses masyarakat terhadap reformasi perhutanan. Pasalnya, dari total 3,5 juta hektare hutan, pemerintah harus memastikan bahwa masyarakat yang telah mendapatkan akses reformasi tidak terpinggirkan.
Ia mengatakan, target perhutanan sosial yang belum tercapai harus menjadi perhatian serius pemerintah. Selain itu, ia juga meminta agar tata ruang harus dievaluasi secara berkala, terutama menjelang momentum evaluasi setiap lima tahun.
"Kami berharap tata ruang yang tidak sesuai dengan harapan masyarakat dapat dihapus. Proses perencanaan harus melibatkan masyarakat secara aktif," ujarnya.