Hashim soal Paris Agreement: Kalau AS Tak Menuruti, Kenapa RI Harus Patuh?

Tia Dwitiani Komalasari
31 Januari 2025, 20:25
Hashim Djojohadikusumo saat pembukaan Paviliun Indonesia, dalam Conference of the Parties ke-29 (COP 29) UN Climate Change Conference di Baku, Azerbaijan, Senin (11/11/2024). \
Katadata/Martha Thertina
Hashim Djojohadikusumo saat pembukaan Paviliun Indonesia, dalam Conference of the Parties ke-29 (COP 29) UN Climate Change Conference di Baku, Azerbaijan, Senin (11/11/2024). \
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Utusan Presiden Bidang Iklim dan Energi, Hashim Sujono Djojohadikusumo, menyoroti Amerika Serikat yang menarik diri dari Perjanjian Iklim Paris atau Paris Agreement setelah Donald Trump resmi menjadi Presiden AS. Hashim menilai langkah AS tersebut menjadikan perjanjian itu tidak adil untuk Indonesia.

“Kalau Amerika Serikat tidak mau menuruti perjanjian internasional (Paris Agreement), kenapa negara seperti Indonesia harus mematuhi (Paris Agreement)?” ujar Hashim dalam acara bertajuk “ESG Sustainable Forum 2025” dipantau secara daring di Jakarta, Jumat (31/1).

Hashim membandingkan emisi karbon antara Amerika Serikat dengan Indonesia. Amerika Serikat menghasilkan kurang lebih 13 ton karbon per kapita per tahun. Sedangkan, Indonesia menghasilkan 3 ton karbon per kapita per tahun.

Menurut Hashim, perbandingan tersebut menunjukkan bahwa pencemaran di AS yang lebih besar dibanding Indonesia. Negara adidaya tersebut bahkan merupakan salah satu negara pencemar terbesar di dunia.

“Ini adalah masalah keadilan. Indonesia 3 ton, Amerika 13 ton, dan Indonesia yang disuruh menutup pusat-pusat tenaga listrik, tenaga uap untuk dikurangi. Rasa keadilannya di mana?” ucap Hashim.

Oleh karena itu, Hashim menyampaikan Indonesia masih mempelajari lebih lanjut dampak dari keluarnya Amerika Serikat dari Paris Agreement. Masa depan transisi energi penuh ketidakpastian sehingga Indonesia harus merencanakan program pembangunan dengan situasi yang penuh dengan ketidakpastian.

“Indonesia selalu mau menjadi anak baik, the good boy. Tapi, the big boys (anak-anak besar), belum tentu jadi good boy juga, kan?” kata Hashim.

Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menyampaikan bahwa keluarnya Amerika Serikat dari Perjanjian Iklim Paris atau Paris Agreement membuat Indonesia dilema dalam mengembangkan energi baru dan energi terbarukan.

Bahlil menyoroti tingginya biaya yang dibutuhkan untuk mengembangkan energi baru terbarukan apabila dibandingkan dengan menggunakan energi fosil di Indonesia.

Dengan keluarnya Amerika Serikat sebagai salah satu inisiator dari Paris Agreement dan surutnya lembaga pembiayaan untuk proyek-proyek energi terbarukan, Bahlil mempertimbangkan ulang nasib pengembangan energi baru dan terbarukan di Indonesia.

Meskipun demikian, untuk saat ini, Bahlil menyatakan Indonesia masih berkomitmen mengembangkan energi baru dan energi terbarukan sebagai bentuk dari tanggung jawab sosial dalam rangka menjaga kualitas udara.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Selasa (28/1) memastikan bahwa Amerika Serikat (AS) telah secara resmi memberi tahu mengenai pengunduran dirinya dari Perjanjian Iklim Paris.

Perjanjian Paris tentang perubahan iklim diadopsi pada 2015 oleh 195 anggota Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim.

Tujuannya adalah untuk membatasi peningkatan suhu rata-rata global hingga jauh di bawah dua derajat Celsius di atas tingkat praindustri, dan sebaiknya mendekati 1,5 derajat Celsius.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Antara

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...