Masyarakat Adat Jadi Kunci Kedaulatan Pangan

Ringkasan
- Masyarakat adat memiliki pengetahuan tradisional yang telah teruji dalam mengelola sumber daya alam dengan berkelanjutan, termasuk dalam bidang pertanian, perikanan, dan kehutanan.
- Kedaulatan pangan berbasis kearifan lokal masyarakat adat, seperti sistem leuit di Kasepuhan dan kebun komunal di Boti, telah terbukti mampu memenuhi kebutuhan pangan dan meningkatkan ketahanan pangan.
- Pengelolaan sumber daya alam oleh masyarakat adat bergantung pada pengetahuan tentang fenomena alam dan pendekatan yang harmonis dengan alam, sehingga menjaga keseimbangan ekologi dan memastikan keberlanjutan keanekaragaman hayati.

Masyarakat adat sebagai pemilik pengetahuan lokal yang teruji selama berabad-abad memiliki sistem pengelolaan pertanian, perikanan, dan kehutanan yang menjaga keseimbangan ekologi dan menghindari eksploitasi sumber daya alam. Berbagai praktik kedaulatan pangan berbasis kearifan lokal menjadi bukti bahwa masyarakat adat memainkan peran kunci dalam kedaulatan pangan.
Di Papua, keanekaragaman pangan sangat dipengaruhi oleh kondisi geografis wilayah adat. "Masyarakat yang tinggal di dataran rendah mengelola sumber daya alam dengan membangun dusun sagu yang dikelola berdasarkan hukum adat marga atau suku," ujar Maria, perempuan Mpur Kebar, Tambrau, Papua Barat Daya.
Di dataran tinggi, pola pangan lebih berfokus pada budidaya umbi-umbian yang menjadi bagian dari tradisi turun-temurun.
Di wilayah Kasepuhan, Jawa Barat, terdapat sistem kedaulatan pangan berbasis komunal dengan membangun ribuan leuit atau lumbung padi untuk memastikan ketersediaan pangan dalam jangka panjang. "Leuit dapat menyimpan hasil panen selama bertahun-tahun, bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga kami, tetapi juga untuk menjaga ketahanan pangan di wilayah adat kami," kata Sucia Lisdamara, perempuan adat Kasepuhan Bayah.
Kedaulatan pangan masyarakat adat juga terbukti menjadi kekuatan nyata, terutama saat pandemi Covid-19 pada 2020. Menurut liputan yang disusun oleh Ahmad Arif pada 2022, komunitas adat mampu memenuhi hampir seluruh kebutuhan hidup mereka secara mandiri dan bertahan di tengah krisis.
Salah satu contohnya terlihat di masyarakat adat Boti, Nusa Tenggara Timur (NTT). Masyarakat adat Boti memiliki pengetahuan mendalam dalam mengelola sumber daya alam. Mereka memproduksi sendiri minyak kelapa untuk keperluan memasak, serta menerapkan teknik pengelolaan lahan yang memungkinkan mereka menanam dan memanen umbi-umbian meskipun kondisi tanah kering.
Bebie, perwakilan Masyarakat Adat Boti, mengatakan masyarakat adat mengandalkan modal sosial yang kuat untuk memastikan tidak ada anggota komunitasnya yang kekurangan pangan.
"Selain memiliki kebun pribadi, Masyarakat Adat Boti mengelola kebun komunal secara kolektif. Proses penggarapannya dilakukan secara gotong royong dan hasil panennya diperuntukkan bagi mereka yang kesulitan," ujar Bebie.
Ia menambahkan, Kabupaten Timor Tengah Selatan merupakan daerah dengan kasus stunting tinggi di Provinsi NTT. Namun, tidak ada kasus stunting yang ditemukan pada Masyarakat Adat Boti.
Kedaulatan pangan juga menjadi identitas budaya dan simbol relasi sosial dalam komunitas adat. Masyarakat Adat Leuhoe di Desa Hoelea II, Kabupaten Lembata, membudayakan konsumsi pangan lokal jali-jali atau Leye dalam bahasa Kedang.
Tradisi Puting Watar Ka Leye mewajibkan perempuan dari suku tertentu untuk mengonsumsi jali-jali seumur hidup. Hal ini menggambarkan eratnya keterkaitan pangan lokal dengan adat dan budaya.
Masyarakat adat yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil juga menerapkan praktik pengelolaan sumber daya perikanan berbasis kearifan lokal. Misalnya, Panglima Laot di Aceh, Mane'e di Kepulauan Talaud, Ola Nua di Lamalera, dan Sasi Ikan Lompa di Pulau Haruku.
Studi di komunitas mangrove Teluk Balikpapan menunjukkan keberlanjutan ekosistem mangrove sangat berkaitan dengan ketahanan pangan mereka. "Ikan, udang, kepiting, dan kerang adalah sumber pangan utama masyarakat adat pesisir. Pasar hidup yang masih tersedia di sekitar rumah mereka menandakan ekosistem mangrove yang sehat," kata Bagas Pangestu, aktivis lokal isu pesisir dan laut.
RUU Masyarakat Adat
Mika Ganobal, perwakilan Masyarakat Adat Kepulauan Aru Maluku, mengatakan kedaulatan pangan masyarakat adat yang mendiami pulau-pulau kecil sangat bergantung pada pengelolaan sumber daya alam yang bijak. Mereka memanfaatkan situasi dan fenomena alam seperti pasang surut, angin laut, curah hujan, dan fase bulan.
Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat diharapkan menjadi payung hukum yang tidak hanya mengakui dan melindungi hak-hak serta kearifan lokal masyarakat adat. RUU ini juga diharapkan menjaga keberlangsungan kedaulatan pangan berbasis komunitas.
Veni Siregar, Koordinator Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat, mengatakan RUU Masyarakat Adat telah masuk dalam Program Legislasi Nasional Prioritas 2025.
"RUU Masyarakat Adat adalah jalan menuju kedaulatan dan kemandirian masyarakat adat. Masyarakat adat memiliki pengetahuan dalam pengelolaan sumber daya alam," ujar Veni.
Dengan menjaga keseimbangan antara kebutuhan manusia dan keberlanjutan lingkungan, masyarakat adat telah membuktikan kedaulatan pangan dapat dicapai melalui pendekatan yang berbasis harmoni dengan alam. Upaya pengakuan dan perlindungan masyarakat adat menjadi bagian integral dari sistem pangan nasional.
"Ini menjadi momen refleksi untuk melihat bagaimana kebijakan pangan nasional dapat lebih inklusif dan berpihak kepada masyarakat adat," ujarnya.
Dengan menjaga dan memperkuat sistem pangan masyarakat adat, kita akan melestarikan keanekaragaman hayati dan memastikan generasi mendatang memiliki akses terhadap pangan. Hal ini juga akan membangun sistem pangan nasional yang adil dan berkelanjutan.