DPR Ungkap Tiga Fokus Revisi UU Kehutanan, Termasuk soal Masyarakat Adat

Image title
18 Maret 2025, 17:01
Seorang Suku Tehit menyiapkan tombak dari batang pohon untuk berburu di dalam hutan Kampung Sira, Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat Daya.
ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga
Seorang Suku Tehit menyiapkan tombak dari batang pohon untuk berburu di dalam hutan Kampung Sira, Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat Daya.

Ringkasan

  • TPST Bantargebang mengolah sampah menjadi RDF ( *refuse-derived fuel*) yang digunakan sebagai bahan bakar alternatif. Bahan bakar tersebut telah diserap oleh pabrik semen dan digunakan untuk pembangkit listrik.
  • Sistem RDF di TPST Bantargebang dinilai lebih maju oleh Menko Zulkifli Hasan dan mampu mengirim sampah ke pabrik hingga 2000 ton/hari. Sampah juga dipakai sebagai bahan baku PLTSa Bantargebang dengan kapasitas 400 kWh.
  • Pemerintah sedang mengupayakan percepatan pembangunan PLTSa dengan menggabungkan tiga Perpres menjadi satu aturan. Aturan baru ini diharapkan dapat menyederhanakan perizinan pembangunan PLTSa.
! Ringkasan ini dihasilkan dengan menggunakan AI
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Dewan Perwakilan Rakyat tengah melakukan revisi Undang-undang Kehutanan. Anggota Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Darori Wonodipuro, mengatakan revisi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tersebut fokus pada pengawasan daerah aliran sungai (DAS), masyarakat adat, dan sanksi perusak hutan.

Darori mengatakan salah satu yang harus diperbaiki melalui revisi UU ini adalah terkait dengan pengelolaan kawasan aliran sungai, termasuk penutupan air, dan penghijauan di DAS. Pasalnya, di Undang-Undang Cipta Kerja beberapa pasal yang melindungi kawasan resapan air telah dihapus. Hal ini megakibatkan sejumlah wilayah di Indonesia mengalami banjir yang cukup besar beberapa waktu lalu.

 “Contohnya misalkan mengenai daerah air, pohon tumbuhan setiap daerah-daerah sungai. Sekarang kan dengan Undang-Undang Cipta Kerja dihapus, tapi kenyataan banjir luar biasa gini di Jakarta dan sekitarnya,” ujar Dorori dalam diskusi “Menavigasi Undang-Undang Kehutanan” di Jakarta, Selasa (18/3).

Masukan kedua adalah terkait dengan penunjukan kawasan hutan yang sah sesuai dengan peraturan yang berlaku. Dalam aturan tersebut ditekankan bahwa kawasan hutan harus ditunjuk, diukur, dipetakan, dan ditetapkan agar sah secara hukum.

Dorori mengatakan masukan lainya adalah mengenai tanah adat. Tanah adat sebenarnya sudah diatur dalam UU Kehutanan yang berlaku saat ini, namun implementasinya seringkali terkendala. Untuk itu, pada revisi UU ini akan mempermudahkan masyarakat adat menerima pengakuan dari pemerintah.

 “Usul kami tanah adat itu disetujui hasil evaluasi oleh tim kajian, dilaporkan ke DPR, DPR merekomendasi Menteri Kehutan mengeluarkan keputusan politik untuk tanah adat,” ujarnya.

 Selain itu, revisi UU ini DPR mengusulkan adanya sanksi yang lebih berat kepada perusahaan yang merusak hutan. Adapun salah satu sanksi yang akan diterima bukan hanya materi tetapi juga terkait dengan sanksi pidana.

“Yang harus dilakukan seperti yang sudah kita lakukan di Undang-Undang 32, itu membunuh harimau hanya 3-4 bulan, sekarang 15 tahun, jadi efek jeranya ada,” ucapnya.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Djati Waluyo

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...