BMKG Ingatkan Dampak Gempa Megathrust di Jakarta, Gedung Tinggi Harus Diinspeksi


Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati, mengatakan wilayah yang memiliki struktur tanah lunak akan merasakan dampak lebih besar ketika terjadi gempa Megathrust di Indonesia.
Sebagaimana diketahui, Megathrust merupakan bidang gempa sangat besar yang terletak tepat pada pertemuan lempeng samudera (Indo-Australia) dan lempeng benua (Eurasia).
Dia mengatakan gempa yang terjadi di Megathrust harusnya tidak terlalu terasa karena titik gempa yang cukup jauh didalam bumi. Namun hal berbeda jika terjadi di wilayah seperti Jakarta yang memiliki struktur tanah lunak.
“Sebetulnya yang dikhawatirkan adalah kota-kota yang tanahnya lunak. Misalnya Jakarta,” ujar Dwikorita dikutip dari laman Instagram BMKG, Jumat (25/4).
Dwikorita mengatakan kondisi tanah di Jakarta sama seperti kondisi di Bangkok, Thailand yang merasakan efek cukup besar akibat gempa besar di dataran Myanmar beberapa waktu lalu. Kondisi tersebut terjadi karena tanah lunak akan membuat getaran gempa di wilayah sekitarnya akan menguat bila masuk ke wilayahnya.
“Jadi tanah-tanah lunak, meskipun jaraknya jauh dari sumber gempah, dia akan mengalami perambatan gelombang. Itu kalau di tanah lunak, itu dia akan getarannya menjadi menguat. Begitu masuk tanah lunak, meskipun jaraknya jauh,” ujarnya.
Untuk mengantisipasi terjadinya gempa di wilayah Jakarta, ia meminta Kementerian Pekerjaan Umum (PU), Pemerintah Provinsi Jakarta untuk melakukan pengawasan terhadap rancangan Gedung di Jakarta. Hal tersebut dilakukan agar bangunan tinggi yang ada di Jakarta memiliki ketahanan dari gempa dengan kekuatan besar.
“Perlu adanya inspeksi meyakinkan bangunan-bangunan hunian yang towernya tinggi-tinggi itu, dipastikan sudah siap untuk menghadapi guncangan yang kuat,” ucapnya.
Gempa Besar Dua Megathrust RI
Kepala Pusat Gempabumi dan Tsunami BMKG, Daryono, mengatakan Megathrust Nankai merupakan salah satu zona seismic gap atau zona sumber gempa potensial. Namun, belum terjadi gempa besar dalam masa puluhan hingga ratusan tahun terakhir. Zona tersebut saat ini diduga sedang mengalami proses akumulasi medan tegangan kerak bumi.
Menurutnya, potensi serupa bisa terjadi di Seismic Gap Megathrust Selat Sunda (M8,7) dan Megathrust Mentawai-Suberut (M8,9).
"Rilis gempa di kedua segmen megathrust ini boleh dikata “tinggal menunggu waktu” karena kedua wilayah tersebut sudah ratusan tahun belum terjadi gempa besar," ujar Daryono dalam keterangan, Senin (12/8).
Daryono mengatakan, jika gempa dahsyat di Megathrust Nankai tersebut benar-benar terjadi, kemungkinan besar tersebut dapat memicu tsunami. Karena setiap gempa besar dan dangkal di zona megathrust akan memicu terjadinya patahan dengan mekanisme naik (thrust fault) yang dapat mengganggu kolom air laut (tsunami).
Meski begitu, BMKG sudah menyiapkan system monitoring, prosesing dan diseminasi informasi gempabumi dan peringatan dini tsunami yang semakin cepat dan akurat.
Lanjutnya, BMKG juga telah memberikan edukasi, pelatihan mitigasi, drill, evakuasi, berbasis pemodelan tsunami kepada pemerintah daerah, stakeholder, masyarakat, pelaku usaha pariwisata pantai, industri pantai dan infrastruktur kritis (pelabuhan dan bandara pantai) yang dikemas dalam kegiatan Sekolah Lapang Gempabumi dan Tsunami (SLG), BMKG Goes To School (BGTS) dan Pembentukan Masyarakat Siaga tsunami (Tsunami Ready Community).
"Harapan kita, semoga upaya kita dalam memitigasi bencana gempabumi dan tsunami dapat berhasil dengan dapat menekan sekecil mungkin risiko dampak bencana yang mungkin terjadi, bahkan hingga dapat menciptakan zero victim," ujarnya.