Mengenal Kelekak, Kearifan Lokal Agroforestri Ala Masyarakat Bangka Belitung

Image title
28 Agustus 2025, 08:59
agroforestri
ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho/foc.
Petani memeriksa Petai (Parkia speciosa) di kawasan hutan Desa Sukobubuk, Margorejo, Pati, Jawa Tengah, Jumat (1/11/2024). Petani perhutanan sosial setempat yang tergabung dalam Kelompok Tani Hutan (KTH) yang mengelola lahan milik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) seluas 1.300 hektare dengan menanami komoditas agroforestri tersebut berhasil mengekspor petai ke negara Jepang hingga lima kuintal per bulan.
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Masyarakat adat di berbagai daerah di Indonesia dinilai memiliki kearifan lokal untuk menjaga hutan tropis di wilayahnya masing-masing. Salah satunya adalah praktik kelekak yang diterapkan oleh masyarakat di Bangka Belitung. 

Peneliti Pusat Peneliti Pusat Riset Agama dan Kepercayaan (PRAK) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Retno Kartini Savitaningrum Imansah menjelaskan bahwa kelekak merupakan bentuk agroforestri tradisional yang memadukan hutan, kebun, dan pertanian. 

 “Lahan kelekak biasanya berukuran 1–2 hektar, merupakan tanah warisan keluarga, dan ditanami berbagai pohon buah serta kayu,” ungkapnya dilansir dari pernyataan resmi, Kamis (28/8).

Retno menyebutkan bahwa pihaknya melakukan kajian dari sisi perspektif ekoteologi dan ekonomi hijau. Ia mengatakan tradisi pengelolaan hutan berbasis kearifan lokal telah lama hadir di berbagai komunitas di Nusantara, tak terkecuali di Bangka Belitung.  

Prinsip utama pengelolaan kelekak adalah keberlanjutan. Yakni, siapa yang menebang pohon wajib menanam kembali. Jika diwariskan lintas generasi hingga tidak jelas lagi pewarisnya, maka kelekak berubah menjadi milik desa dan dikelola secara komunal. 

“Hal ini menciptakan kohesi sosial sekaligus menjaga keberlanjutan ekologi,” tegas Retno.

 Selain menghasilkan buah-buahan seperti durian, manggis, atau cempedak, kelekak juga menghasilkan produk bernilai tinggi. Sebut saja madu lebah klanceng (Trigona) dan jamur pelawan harganya bisa mencapai jutaan rupiah per kilogram. Retno mengatakan bahwa hasil-hasil ini tidak hanya mendukung ketahanan pangan, tetapi juga menjadi sumber pendapatan masyarakat.

Kelekak kemudian berkembang menjadi destinasi ekowisata. Misalnya di Hutan Pelawan, pengunjung tidak hanya menikmati panorama hutan, tetapi juga merasakan kuliner tradisional seperti jamur pelawan dan praktik makan bedulang. 

“Peran generasi muda melalui kelompok sadar wisata (pokdarwis) menjadikan kelekak sebagai ruang edukasi lingkungan sekaligus sumber ekonomi alternatif,” terangnya.

Selain itu ia melihat tradisi kelekak erat dengan nilai-nilai agama. Mayoritas masyarakat Melayu Bangka Belitung yang beragama Islam memandang pengelolaan hutan sebagai bagian dari amanah khalifah di bumi. Yaitu menjaga alam, tidak merusak, dan berbagi hasil panen. 

Terdapat juga, praktik budaya seperti ritual taber gunung memperlihatkan dialektika antara adat dan agama, di mana dukun kampung dan tokoh agama terlibat bersama. Nilai religius ini memperkuat ikatan sosial dan memberi dasar moral bagi pelestarian lingkungan.

Retno lalu menyebut beberapa tantangan utama dalam pelestarian kelekak. Antara lain alih fungsi lahan untuk tambang timah dan perkebunan, deforestasi yang masif, berkurangnya peran generasi muda, konflik antara kepentingan ekonomi dan konservasi, serta kebijakan pemerintah yang tidak konsisten.

Meski demikian, terdapat peluang besar melalui penguatan ekowisata, program Satu Desa Satu Tujuan Wisata (Susena), pemberian insentif bagi konservasi, peningkatan kesadaran masyarakat, serta kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan Non-Governmental Organization (NGO).

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Nuzulia Nur Rahmah

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...