Staf Ahli Menteri LH Sebut Pengelolaan Sampah Butuh Model Bisnis Baru

Ajeng Dwita Ayuningtyas
28 Agustus 2025, 19:06
Staf Ahli Menteri Bidang Pengelolaan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup, M. Bijaksana Junerosano, mengungkapkan persoalan keterbatasan dana APBD membuat daerah tidak mampu mengelola sampahnya dengan baik.
Katadata/Ajeng Dwita Ayuningtyas
Staf Ahli Menteri Bidang Pengelolaan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup, M. Bijaksana Junerosano, mengungkapkan persoalan keterbatasan dana APBD membuat daerah tidak mampu mengelola sampahnya dengan baik.
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Staf Ahli Menteri Bidang Pengelolaan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup, M. Bijaksana Junerosano, mengungkapkan persoalan keterbatasan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) membuat daerah tidak mampu mengelola sampahnya dengan baik. Ia menilai dibutuhkan model bisnis baru agar pengelolaan sampah di daerah bisa berjalan efektif.
 
Sano, panggilan akrab M. Bijaksana Junerosano, mengatakan sejauh ini pengelolaan sampah di daerah masih mengandalkan dana Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Namun, alokasi dananya sangat minim. Hanya 0,6% dana APBD yang digunakan untuk sanitasi, termasuk untuk pengelolaan sampah

“Wajar kalau kita tidak bisa mengatasi masalah sampah dengan mengandalkan APBD,” kata Sano, dalam diskusi di The Green Summit 2025, di Jakarta, Kamis (28/8). 

Menurutnya, pengelolaan sampah di daerah perlu menggunakan skema polluter pays principle. “Siapa yang menyampah, dia wajib membayar,” ujarnya. Besarannya tergantung pada volume sampah yang dihasilkan.

Dirinya menambahkan, pengelolaan sampah perlu dilihat sebagai usaha pelayanan publik, yang bisa mengakses lembaga keuangan. Dengan kata kunci usaha, artinya perlu ada business model (model bisnis) yang mendukung. 

Kata kunci berikutnya, menurut Sano, adalah layanan publik, mengindikasikan bisnis ini untuk melayani masyarakat. Sano mencontohkan, skema ini layaknya masyarakat yang membayar tarif listrik atau air Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), untuk mendapatkan fasilitasnya.

Mengenai akses ke lembaga keuangan, pria yang juga menjabat sebagai CEO Waste 4 Change ini mengatakan, pemerintah berperan sebagai regulator yang mampu “menjamin” para lembaga keuangan ini ketika memberi pinjaman untuk daerah.

Dana Diputar untuk Kembangkan Infrastruktur 

Ketika skema usaha pelayanan publik dijalankan untuk pengelolaan sampah, dana yang dihasilkan dapat kembali digunakan untuk menunjang infrastrukturnya.

“Pengembalian investasi modal. Kalau tidak seperti itu, tidak bisa dibangun (infrastruktur pengelolaan sampah),” kata Sano.

Ia juga menyoroti masalah lain yang membuat Indonesia sulit mencapai keberlanjutan, yakni sistem korupsi. Pelanggaran aturan lingkungan adalah salah satu bentuk sistem ini. 

Sistem korupsi kemudian menciptakan ketidakadilan, terutama bagi pihak yang ingin beroperasi dengan cara yang benar.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Ajeng Dwita Ayuningtyas

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...