AC Memperburuk Pemanasan Global, Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Panas ekstrem merupakan ancaman paling mematikan di antara semua bahaya terkait iklim. Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) memperkirakan sekitar 489 ribu kematian akibat panas terjadi secara global setiap tahun antara tahun 2000 dan 2019, di mana 45% terjadi di Asia dan 36% di Eropa.
Solusi pendinginan menjadi esensial untuk menjaga kesehatan masyarakat dan mempertahankan produktivitas kerja selama musim panas tropis, bahkan di daerah yang baru mengalami panas ekstrem, seperti Inggris.
Melansir laporan Earth.org, saat ini terdapat sekitar 2 miliar unit air conditioner (AC) atau pendingin udara di seluruh dunia. Jumlahnya diperkirakan akan hampir tiga kali lipat menjadi 5,6 miliar pada tahun 2050. Menurut laporan tahun 2018 dari Badan Energi Internasional (IEA), pertumbuhan ini terutama didorong oleh negara-negara berkembang dengan iklim hangat seperti Cina dan India, di mana semakin banyak orang mampu membeli pendingin udara.
Namun, akses ke ruang dalam yang sejuk tetap menjadi kemewahan bagi komunitas yang paling rentan terhadap panas ekstrem, karena kepemilikan AC terendah di kalangan mereka. Menurut IEA, kurangnya pendinginan dalam ruangan yang efisien menempatkan sekitar 2-4 miliar orang pada risiko stres panas, terutama di negara-negara di belahan bumi selatan.
Dampak Lingkungan AC
Pada saat yang sama, pendingin udara atau AC semakin berkontribusi terhadap pemanasan global. Menurut laporan PBB, pendinginan akan menyumbang 10% dari emisi gas rumah kaca global pada tahun 2050.
Pemanasan yang dihasilkan terutama terkait dengan penggunaan hidrofluorokarbon (HFC) dalam pendingin udara yang ada. Emisi gas-gas ini terutama terjadi saat peralatan bocor, misalnya akibat pemeliharaan yang tidak benar atau pembuangan yang tidak tepat. HFCs adalah gas-gas yang memiliki dampak jauh lebih besar terhadap pemanasan global dibandingkan karbon dioksida.
Selain itu, suhu ekstrem yang memecahkan rekor juga meningkatkan permintaan listrik, karena unit pendingin menggunakan banyak energi. Secara global, IEA memperkirakan permintaan listrik akan meningkat hingga 40% pada tahun 2030.
Memenuhi permintaan sepenuhnya selama bulan-bulan musim panas yang panas dengan energi terbarukan tetap menantang, dengan bahan bakar fosil masih mendominasi pengisian celah. Secara global, permintaan batu bara meningkat 1% pada tahun 2024, dengan gelombang panas ekstrem di Cina dan India – yang meningkatkan kebutuhan pendinginan – berkontribusi lebih dari 90% dari total peningkatan tahunan.
Meskipun efisiensi dan kinerja sistem pendingin terus meningkat, emisi karbon tidak langsung dari pendingin udara dan sistem pendingin lainnya meningkat dengan cepat. Emisi ini telah hampir tiga kali lipat sejak 1990, mencapai lebih dari 1 miliar ton CO2 pada 2022, meningkat 2% dari tahun sebelumnya.
Cara kita dalam mendinginkan lingkungan di dalam ruangan menyebabkan suhu meningkat lebih lanjut. Di kota-kota, efek ini bahkan lebih terasa. Kekurangan ruang hijau, kepadatan bangunan, dan kelebihan beton, dikombinasikan dengan limbah panas dari transportasi, proses industri, dan pendingin udara, menyebabkan kota-kota di seluruh dunia memanas dua kali lebih cepat dari rata-rata global. Fenomena ini dikenal sebagai efek pulau panas perkotaan.
Alternatif Pendinginan Berkelanjutan
Alternatif pendinginan yang lebih berkelanjutan sudah tersedia, tetapi untuk mengurangi ketergantungan pada pendingin udara, diperlukan pendekatan holistik terhadap pendinginan.
Di kota-kota dengan iklim hangat seperti Dubai, pendinginan distrik merupakan alternatif berkelanjutan yang terbukti efektif untuk menjaga suhu tetap rendah. Sistem pendinginan ini hanya membutuhkan setengah dari jumlah energi dibandingkan dengan pendingin udara.
Air dingin didorong melalui pipa isolasi dari pabrik pendingin pusat ke bangunan. Air tersebut kemudian didistribusikan ke unit penanganan udara, yang mendinginkan bangunan. Setelah air menyerap panas, air tersebut mengalir kembali ke pabrik pendingin pusat untuk didinginkan dan digunakan kembali.
Di Eropa, semakin banyak kota yang mempertimbangkan sistem pendinginan distrik untuk menjaga suhu tetap rendah sambil mengurangi emisi. Paris memiliki salah satu sistem pendinginan distrik terbesar di Eropa. Lebih dari 800 lokasi, termasuk Museum Louvre, didinginkan dengan air dingin dari Sungai Seine. Kota ini berencana untuk memperluas sistem tersebut, menghubungkan rumah sakit, panti jompo, dan pusat penitipan anak di seluruh kota.
Atap Putih dan Kota Hijau
Solusi berbasis alam seperti menciptakan ruang hijau seperti taman dan hutan kota, memulihkan rawa-rawa, serta menerapkan infrastruktur hijau seperti atap dan dinding hijau dapat membantu menurunkan suhu di kawasan perkotaan yang kepanasan, serta mengurangi kebutuhan pendinginan secara keseluruhan bagi penduduknya.
Solusi pendinginan pasif seperti peneduh, isolasi, dan peningkatan ventilasi alami dapat membantu menurunkan suhu ruangan tanpa pendingin udara. Pendinginan pasif diperkirakan dapat mengurangi emisi sebesar 1,3 miliar ton pada tahun 2050, menurut beberapa perkiraan.
Atap hijau adalah salah satu solusi pendinginan pasif yang paling sederhana dan efisien secara biaya. Inisiatif yang dipimpin oleh komunitas di empat kota di India menunjukkan bahwa, dibandingkan dengan atap tradisional, atap hijau dapat menurunkan suhu ruangan sebesar 2 hingga 5 derajat Celsius.
Di ibu kota Korea Selatan, Seoul, banyak aliran sungai yang melintasi kota ini menawarkan tempat yang sejuk untuk bersantai selama musim panas. Salah satu contohnya adalah Sungai Cheonggyecheon di kota tersebut, di mana suhu udara 3-6°C lebih rendah dibandingkan dengan jalan-jalan lain di area yang sama. Hal ini merupakan hasil dari peningkatan aliran air sungai, penambahan pohon dan tanaman, serta penghapusan jalan tol terdekat. Transformasi hijau sungai ini juga mendorong pertumbuhan bisnis dan pariwisata.
Di Medellín, Kolombia, 30 koridor hijau menyediakan jalur sejuk bagi jutaan orang setiap hari. Program koridor hijau kota ini dimulai pada 2016 dan berhasil mengurangi efek pulau panas perkotaan sebesar 2°C dalam waktu sekitar tiga tahun. Hingga 2044, kota ini memperkirakan penurunan suhu sebesar 4-5°C.
Meskipun telah diterapkan teknik pendinginan pasif dan kawasan perkotaan yang lebih ramah lingkungan, pendingin udara tetap akan menjadi solusi pendinginan yang penting dalam waktu dekat. Mengurangi jejak karbon peralatan pendingin oleh karena itu menjadi hal yang mendesak.
Refrigeran yang ramah lingkungan dan lebih efisien energi dapat menggantikan gas sintetis berbahaya. Dengan berlakunya Amandemen Kigali pada tahun 2019, penggunaan HFC berbahaya dalam peralatan pendingin secara bertahap akan dihapuskan.
Para penandatangan amandemen telah berkomitmen untuk mengurangi penggunaan HFC lebih dari 80% dalam 30 tahun. Diperkirakan hal ini dapat mencegah kenaikan suhu global sebesar 0,5°C sepanjang abad ini.
Menghemat Penggunaan AC
Kebiasaan konsumsi AC secara sadar juga dapat berperan dalam mengurangi konsumsi energi saat suhu meningkat. Misalnya, mengatur suhu AC menjadi 26°C daripada 24°C dapat menghemat sekitar 30% energi.
Termostat pintar juga dapat digunakan untuk secara otomatis menyesuaikan suhu saat Anda tidak di rumah, mencegah pemborosan pendinginan. Kita juga bisa membersihkan atau mengganti filter udara secara teratur untuk memastikan unit beroperasi dengan efisien dan tidak perlu bekerja lebih keras dari yang diperlukan. Kita juga bisa memilih model AC dengan peringkat Rasio Efisiensi Energi Musiman (SEER) tinggi, yang menggunakan lebih sedikit energi.
Dalam hal ini, pemerintah seharusnya melakukan lebih banyak upaya untuk membantu konsumen membeli peralatan pendingin yang paling efisien secara energi. Menurut IEA, konsumen di seluruh dunia cenderung membeli AC dengan efisiensi hanya setengah dari unit terbaik yang tersedia di pasaran. Di Uni Eropa dan AS, penerapan standar kinerja energi dan label efisiensi energi telah membantu mengurangi konsumsi energi AC sebesar 50%.
