Rockefeller Foundation: 100 Juta Penduduk Asia Tenggara Terpapar Panas Ekstrem

Image title
6 Oktober 2025, 12:06
rockefeller foundation
ANTARA FOTO/ REUTERS/Edgar Su/hp/dj
Edgar Su Pemandangan perahu yang nyaris kosong dekat Merlion Park, saat pariwisata harus menghadapi penurunan curam akibat mewabahnya virus corona (COVID-19), di sepanjang Marina Bay, Singapura, Kamis (26/3/2020).
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Rockefeller Foundation mengungkapkan lebih dari 100 juta penduduk Asia Tenggara hidup di bawah ancaman cuaca ekstrem, termasuk gelombang panas dan kebakaran besar.

Executive Vice President of Programs The Rockefeller Foundation, Elizabeth Yee, mengatakan kawasan Asia saat ini mengalami laju pemanasan dua kali lebih cepat dibandingkan rata-rata global. Pada 2024, gelombang panas laut juga melanda wilayah laut terluas yang pernah tercatat. Suhu permukaan laut mencapai rekor tertinggi, dengan tingkat pemanasan dekadal permukaan laut di Asia hampir dua kali lipat dari rata-rata global. Kenaikan permukaan air laut di sisi Samudra Pasifik dan Samudra Hindia dari benua Asia juga melebihi rata-rata global, meningkatkan risiko bagi wilayah pesisir yang dataran rendah.

“Dan saya akan menunjukkan catatan, yang bukan catatan yang bagus, karena menunjukkan bahwa suhu daerah di Asia sebenarnya, daerah sebenarnya mengalami pemanasan 2 kali dari umum global. Akibatnya, badai dan banjir di kawasan ini menimbulkan dampak yang lebih parah dibandingkan wilayah lain di dunia,” kata Elizabeth dalam forum ASIAXCHANGE25, Senin (6/10).

Hal ini sejalan dengan laporan State of the Climate in Asia 2024 dari Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) menyebutkan bahwa tahun 2024 merupakan tahun terpanas atau kedua terpanas yang pernah tercatat. Tren pemanasan antara tahun 1991–2024 tercatat hampir dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan periode 1961–1990.

Elizabeth menjelaskan, perubahan iklim tersebut telah menimbulkan tekanan ekonomi dan sosial yang besar di Asia. Berdasarkan data Rockefeller Foundation, Asia diperkirakan membutuhkan pendanaan adaptasi antara US$102 juta hingga US$431 juta per tahun untuk melindungi populasi yang terdampak.

“Ini adalah kesempatan bagi kita untuk memikirkan kembali bagaimana membangun kota dan kepemimpinan urban yang lebih tangguh, serta melindungi masyarakat dari dampak krisis iklim,” ujarnya.

Elizabeth menambahkan, Rockefeller Foundation terus memperkuat kolaborasi lintas sektor dalam bidang kesehatan, ketahanan pangan, transisi energi bersih dan keuangan melalui Global Energy Alliance for People and Planet (GEAPP). Kolaborasi tersebut juga diperkuat melalui G20 Blended Finance Task Force, yang menurutnya menjadi wadah penting untuk mendorong kemajuan pendanaan berkelanjutan di kawasan Asia.

Lebih lanjut, ia menyoroti pesatnya perkembangan filantropi di Asia yang kini bergerak melampaui bantuan tradisional menuju investasi berbasis dampak dan inovasi iklim.

“Menurut laporan British Stan yang kami dukung pada Juni lalu, sekitar 50% dari organisasi filantropi terbesar di Asia didirikan dalam 20 tahun terakhir, jauh lebih muda dibandingkan rata-rata global yang hanya 20%. Ini menunjukkan bahwa filantropi Asia lebih dinamis dan berorientasi pada perubahan sistem,” jelasnya.

Elizabeth menekankan bahwa Asia kini bukan sekadar penerima bantuan pembangunan, melainkan menjadi pusat solusi global yang mendorong inovasi dalam kebijakan, keuangan, dan teknologi.

“Asia memiliki kebijakan yang kuat, ekosistem finansial yang matang, serta kapasitas teknologi yang mumpuni. Inilah saatnya Asia memimpin solusi dunia, bukan hanya untuk Asia, tetapi untuk seluruh planet,” pungkasnya.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Nuzulia Nur Rahmah

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...