DDP: Komitmen Iklim Indonesia Terancam Akibat Ketergantungan Energi Fosil
Sepuluh tahun setelah penandatanganan Perjanjian Paris, Indonesia dinilai belum berhasil mencapai target yang telah ditetapkan. Meskipun telah berkomitmen untuk memangkas emisi, ketergantungan Indonesia terhadap energi fosil masih tetap tinggi.
Laporan “A Decade of National Climate Action: Stocktake and the Road Ahead” oleh Deep Decarbonization Pathways (DDP) mengungkapkan, sejak Perjanjian Paris pada 2016, Indonesia telah menaikkan ambisi iklimnya melalui NDC yang diperbarui.
Misalnya dengan target penurunan emisi 31,89% secara mandiri dan 43,20% dengan dukungan internasional pada 2030, serta target net zero pada 2060 atau lebih cepat, Strategi Jangka Panjang untuk Pembangunan Rendah Karbon dan Ketahanan Iklim 2050 (LTS-LCCR 2050), program FOLU Net Sink 2030, transisi energi, hingga reformasi tata guna lahan berkelanjutan telah digulirkan.
Meski begitu Direktur DDP Initiative, Henri Waisman, mengatakan ketergantungan tinggi pada batu bara, lemahnya infrastruktur, serta penegakan regulasi yang tidak konsisten dinilai mengancam kredibilitas komitmen tersebut.
"Transisi energi Indonesia menghadapi risiko serius, mulai dari terjebak pada ketergantungan bahan bakar fosil, keterbatasan pengembangan energi terbarukan, hingga kesenjangan pendanaan iklim," kata Henri dalam pernyataan resmi, Selasa (7/10).
Dia juga menilai tantangan sosial-ekonomi seperti potensi hilangnya pekerjaan di sektor fosil, ketimpangan regional, serta keterjangkauan energi juga membuat proses transisi energi di Indonesia semakin sulit.
Peluang Ekonomi Hijau
Laporan DDP juga mengungkapkan adanya peluang ekonomi hijau yang dapat menciptakan hingga 1,8 juta lapangan kerja baru pada 2030, terutama di sektor energi terbarukan, transportasi bersih, dan industri berbasis sumber daya.
Karenanya, Direktur Eksekutif CERAH Agung Budiono, mengatakan Indonesia harus memperbaiki dokumen perencanaan ketenagalistrikannya untuk membuka ruang rencana mitigasi krisis iklim yang lebih serius.
“Pemerintah dapat melakukan pembaharuan terhadap dokumen-dokumen perencanaan seperti Rencana Usaha Ketenagalistrikan Nasional (RUKN), agar dokumen turunan seperti Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), Rencana Umum Energi Daerah (RUED), dan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) dapat mengakomodasi pertumbuhan energi terbarukan dan menurunkan penggunaan energi fosil untuk menekan emisi yang semakin parah,” ujar Agung.
Laporan DPP juga mendorong Indonesia mengambil langkah perubahan pada 2025-2030, termasuk di sektor energi. Indonesia perlu memperbarui RUPTL agar sejalan dengan target energi terbarukan serta pengetatan pembatasan PLTU captive, dan memperluas pasar karbon domestik dengan kesiapan integrasi ke mekanisme internasional.
Senada, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, Nadia mengingatkan risiko kebijakan energi pemerintah yang mendorong pembukaan hutan, seperti pembakaran bersama biomassa dengan batu bara (co-firing biomassa) di PLTU.
Kebijakan tersebut dikhawatirkan akan berimbas pada strategi Forestry and Other Land Use (FOLU) Net Sink 2030, yakni kebijakan publik untuk mewujudkan sektor hutan dan lahan Indonesia yang menyerap lebih banyak emisi daripada yang dikeluarkan.
Menurutnya, target FOLU Net Sink 2030 untuk mendorong penurunan emisi tidak akan tercapai jika kebutuhan energi ditujukan pada pembukaan hutan.
"Target co-firing biomassa bisa memicu kebutuhan subtitusi dari batu bara ke pembukaan hutan yang sengaja ditanam untuk memproduksi bahan baku sebagai sumber energi, seperti kayu, limbah pertanian, atau tanaman energi khusus,” tutur Nadia.
