ARUKI Kritik Partisipasi Semu dalam Penyusunan Second NDC Indonesia

Ajeng Dwita Ayuningtyas
14 Oktober 2025, 16:59
second NDC, ARUKI, perubahan iklim
ANTARA FOTO/Basri Marzuki/nz
Foto udara lanskap kampung Mamboro yang direncanakan menjadi kampung adaptif terhadap perubahan iklim di Kelurahan Mamboro Barat, Palu, Sulawesi Tengah, Minggu (2/2/2025).
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Koordinator Sekretariat Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim (ARUKI) sekaligus Direktur Yayasan PIKUL, Torry Kuswardono, menilai proses partisipasi publik dalam penyusunan kebijakan di Indonesia tergolong buruk. Hal ini juga terjadi dalam penyusunan Second Nationally Determined Contribution (Second NDC).

“Yang terjadi adalah tokenisme, tidak ada mekanisme yang cukup transparan, sampai sekarang kita bahkan tidak tahu draft-nya yang mana,” kata Torry, dalam diskusi ‘Menagih Komitmen Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca, Selasa (14/10).

Tokenisme atau dalam hal ini adalah partisipasi semu, menggambarkan partisipasi masyarakat sebagai formalitas saja, bukan pemegang kedaulatan. 

Torry bercerita, draft Second NDC pernah dibagikan tahun lalu, namun kembali ditarik dengan alasan merespons masukan dari publik. Akan tetapi, mekanismenya justru tidak transparan. 

“Bagaimana bisa memberi masukan, bagaimana hasil masukan itu terolah, itu tidak cukup bisa dilihat. Ujug-ujug (tiba-tiba) sudah jadi,” tambah Torry.

Pemerintah Mengundang Para Pemangku Kepentingan 

Merespons kritik ARUKI, Direktur Pembangunan Ekonomi dan Lingkungan Hidup Kementerian Luar Negeri, Tri Purnajaya, menjelaskan proses partisipatif dalam penyusunan Second NDC.

Menurutnya, dalam beberapa tahun terakhir, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) sebagai pemimpin penyusunan NDC, selalu mengundang berbagai lembaga pemerintahan maupun non pemerintahan untuk konsultasi penyusunan Second NDC. Pemerintah juga mengundang para pemangku kepentingan dari beragam sektor, salah satunya swasta. 

“Bahkan, saya kemarin diskusi tentang ocean dialogue itu melibatkan organisasi-organisasi non pemerintah,” jelas Tri.

Tri menambahkan, tanpa peran masyarakat sipil, tidak ada kebijakan publik yang berarti. “Nanti yang menerima manfaat dari berbagai kerja sama dan kolaborasi ini adalah masyarakat,” kata Tri.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Ajeng Dwita Ayuningtyas

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...