Rentan Pelanggaran Hukum, KLH-Kejagung akan Susun Pengawasan Perdagangan Karbon
Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (KLH/BPLH) bersama Kejaksaan Agung akan meningkatkan integritas perdagangan karbon dengan menyiapkan sistem pengawasan khusus. Mekanisme pengawasan ini diperlukan mengingat pelanggaran hukum rentan terjadi di sektor ini.
“Integritas, artinya karbon ini harus benar, tidak boleh ada fraud,” kata Hanif, usai acara peluncuran buku dan seminar "Mewujudkan High -Integrity Carbon Pricing melalui Penguatan Social, Environmental, dan Legal Safeguards" di Jakarta, Rabu (15/10).
Buku 'Instrumen Safeguards Nilai Ekonomi Karbon' merupakan hasil kolaborasi antara Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) bersama KLH dan Kejaksaan Agung.
Dalam waktu dekat, KLH bersama Kejaksaan Agung akan merumuskan langkah operasional yang diperlukan untuk menjaga penyelenggaraan nilai ekonomi karbon. Sistem pengawasan atau safeguard berlaku untuk skema perdagangan karbon wajib maupun sukarela.
“Sekali ketahuan curang, nilai ekonomi karbon itu tidak ada harganya,” kata Hanif.
Sejauh ini, pemerintah baru memiliki norma umum untuk setiap sektor dalam nilai ekonomi karbon. Hanif menyebut norma detailnya masih menunggu masukan dari para sektor. Artinya, belum ada instrumen pengawasan yang jelas dalam mekanisme perdagangan karbon.
Instrumen pengawasan ini menjadi komponen yang sangat diperlukan, mengingat Indonesia telah menjalin mutual recognition agreement (MRA) dengan lembaga standardisasi karbon global. Sebut saja dengan Gold Standard, Verra, Global Carbon Council, dan Plan Vivo, serta letter of intent dengan Puro Earth.
Belajar dari Temuan Tindak Pidana Karbon di Luar Negeri
CEO IOJI Mas Achmad Santosa mengatakan, buku hasil penelitian IOJI, Kejagung, dan KLU itu akan menjadi bahan utama bagi pengembangan kebijakan safeguards dalam pengawasan perdagangan karbon.
"Dalam waktu dekat kita coba merumuskan kebijakan-kebijakan safeguards. Kita mengacu pada temuan-temuan bahan tindak pidana yang terjadi di negara-negara di dunia. Bagaimana supaya tidak menjadi tindak pidana," ujarnya.
Dia mencontohkan ada 40 lebih kasus tindak pidana karbon di luar negeri. Salah satunya mengenai climate washing. "Jadi, dia (perusahaan) mengklaim sudah melakukan reduksi emisi ternyata tidak, jadi diputuskan oleh pengadilan dia didenda," tuturnya.
Pasok Dana Proyek Pengurangan Emisi
Hanif menuturkan, hasil perdagangan karbon akan digunakan untuk mendukung proyek-proyek pengurangan emisi dalam negeri. Di sektor hutan dan penggunaan lahan lainnya, misalnya, dibutuhkan dana hingga Rp 500 triliun untuk mereduksi emisi 140 juta ton CO2e pada 2030.
Di sektor energi, dana yang dibutuhkan untuk mengurangi emisi bahkan mencapai Rp 5.000 triliun.
“Tidak mungkin kita bisa harapkan dana itu dari kegiatan ekonomi normal kita, maka nilai ekonomi karbon ini menjadi penting,” kata Hanif.
