Riset IEEFA: Bursa Karbon RI Stagnan di Tengah Euforia Global
Laporan riset Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) mengungkapkan, kinerja pasar karbon di tanah air mengalami stagnan dan belum menunjukkan geliat yang diharapkan. Pasar karbon domestik masih sepi meski Bursa Karbon Indonesia (IDX Carbon) sejak dua tahun lalu.
“Nilai transaksi dan partisipasi pasar masih tertinggal jauh dibandingkan dengan skema serupa di tingkat global, dan kontribusinya terhadap penurunan emisi nasional masih sangat kecil. Padahal, bursa karbon diharapkan menjadi pilar utama strategi iklim Indonesia,” kata Research & Engagement Lead, Indonesia Energy Transition IEEFA, Mutya Yustika dikutip dari pernyataan resmi, Kamis (16/10).
Berdasarkan laporan tersebut, total transaksi di bursa karbon sejak beroperasi hanya mencapai Rp 78 miliar atau US$4,9 juta. Hanya 8 proyek yang terdaftar dan 132 peserta aktif.
Kondisi ini, menurut dia. berbanding terbalik dengan kondisi pasar karbon secara global yang justru sedang berkembang pesat, bahkan transaksi karbon termasuk pajak dan sistem perdagangan emisi telah membukukan pendapatan lebih dari US$ 100 miliar pada 2024 mengacu data Bank Dunia.
Sebagai perbandingan, sistem perdagangan karbon Uni Eropa mencakup lebih dari 11 ribu peserta dan menyasar 40% dari total emisi kawasan tersebut, dengan harga karbon rata-rata mencapai US$ 70/ton CO2.
Sementara di Jepang, pasar karbon yang baru dimulai tahun 2024 sudah memiliki 700 peserta dan diproyeksikan akan terus meningkat menyusul rencana mandatori pada 2026.
“Kinerja pasar karbon Indonesia belum memenuhi harapan, terutama dibandingkan dengan awal yang menjanjikan pada 2023. Namun, setelah momentum awal tersebut, pasar menunjukkan tren yang terus turun,” kata Mutya.
Di tiga bulan terakhir tahun 2023, pasar mencatat nilai transaksi sebesar Rp 31 miliar dan volume perdagangan sebesar 494.254 ton CO2 ekuivalen.
Mutya menjelaskan, redupnya IDX Carbon ditandai dengan penurunan harga karbon rata-rata dari Rp62.533 per ton pada 2023 menjadi Rp 55.985 per ton pada Desember 2024. Nilai perdagangannya juga turun menjadi Rp 20 miliar, dengan volume perdagangan berkurang menjadi 413.764 ton CO2 ekuivalen dan hanya tiga proyek yang terdaftar.
Laporan tersebut mengungkapkan, stagnasi yang terjadi pada pasar karbon dalam negeri disebabkan oleh penerapan strategi penetapan harga karbon hibrida, yang memadukan sistem cap-and-trade dengan pajak karbon.
Dalam skema ini, perusahaan yang emisinya melebihi batas harus membeli kredit karbon atau membayar pajak jika kredit tidak tersedia. Namun, batas emisi yang cukup tinggi membuat hanya sedikit PLTU yang melebihi ambang, berujung pada minimnya permintaan kredit karbon maupun pungutan pajak karbon.
Selain itu, prosedur perdagangan dan sertifikasi yang tumpang tindih antar kementerian menambah ketidakpastian untuk investor dan pelaku usaha.
Untuk mengatasi berbagai tantangan dalam tata kelola karbon, pemerintah baru saja menerbitkan Peraturan Presiden No. 110 Tahun 2025 yang bertujuan untuk memperjelas kerangka regulasi dan mendorong kolaborasi lintas kementerian.
Namun, Mutya menilai efektivitas peraturan ini sangat bergantung pada implementasi yang tepat waktu, pemantauan berkelanjutan, dan evaluasi yang ketat agar dapat memberikan dukungan yang dibutuhkan untuk membangun pasar karbon yang kredibel. Di samping itu, reformasi strategis tetap menjadi kunci keberhasilan.
“Indonesia memiliki potensi yang besar dalam perdagangan karbon dan menjadi pemimpin aksi iklim global,” kata Mutya.
Dengan potensi hutan tropis, mangrove dan gambut, menurut dia, Indonesia memiliki ekosistem yang mampu menyerap lebih dari 113 miliar ton CO2, dan dapat memposisikan diri menjadi pemain kunci dalam pasar karbon global. Selain itu, potensi di sektor energi terbarukan juga signifikan, dan diperkirakan dapat mereduksi emisi tahunan hingga 27,5 miliar ton CO2ekuivalen,
Untuk mewujudkan potensi tersebut, menurutnya, Indonesia perlu mereformasi pasar karbon. Pertama, Mutya menilai Indonesia perlu melakukan pembenahan mulai dari menetapkan batas emisi yang lebih ketat dan progresif dengan didukung oleh tarif pajak karbon yang tegas.
Kedua, menyusun regulasi yang transparan dan berstandar internasional agar menarik bagi investor global. Ketiga, melakukan reformasi pasar energi termasuk memberi akses lebih luas bagi sektor swasta untuk mengembangkan energi bersih.
“Selanjutnya memperkuat sistem sertifikasi dan pemantauan agar setiap kredit karbon yang diperdagangkan memiliki kredibilitas tinggi, serta membangun kelembagaan kuat baik di IDX Carbon maupun lembaga pengawas karbon nasional,” kata dia.
