Riset CREA, Celios, dan Trend Asia: PLTU Berisiko Sebabkan 156 Ribu Kematian
CREA, CELIOS, dan Trend Asia merilis daftar 20 pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) paling berbahaya di Indonesia dalam riset terbaru bertajuk Toxic Twenty. Riset tersebut mengungkap risiko kematian dini akibat polusi udara yang ditimbulkan PLTU mencapai 156 ribu kasus hingga 2050.
Ketiga lembaga tersebut memperhitungkan emisi yang dihasilkan, dampak kesehatan dan cemaran terhadap lingkungan, serta kerugian ekonomi masyarakat dan negara.
Pembangkit listrik yang disebutkan dalam riset tersebut adalah PLTU Suralaya, Paiton, Cirebon, Tanjung Jati B, Cilacap, Bukit Asam, Pacitan, Pelabuhan Ratu, Adipala, dan Indramayu. Selain itu, PLTU Labuan, Jawa Tengah, Ombilin, Jawa-7, Celukan Bawang, Pangkalan Susu, Tanjung Awar-Awar, Rembang, Banten, dan Labuhan Angin.
Riset 20 PLTU jaringan Sumatra, Jawa, dan Bali ini, mengungkap risiko kematian dini akibat PLTU mencapai 156.000 kasus hingga 2050. Selain itu, muncul kerugian ekonomi senilai US$ 109 miliar atau Rp 1,8 kuadriliun.
“Walaupun sudah ada komitmen, kerangka peraturannya masih lemah dan tata kelolanya kita tahu sendiri, masih belum mementingkan lingkungan dan kesehatan,” kata Analis Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA), Katherine Hasan, saat peluncuran laporan di Jakarta, Selasa (4/11).
Katherine menyinggung komitmen Presiden Prabowo Subianto untuk mencapai 100% energi terbarukan pada 2035, serta melakukan pensiun dini seluruh pembangkit listrik tenaga fosil pada 2040 mendatang. “Sedangkan kita lihat di perencanaan pembangkit listrik tidak seperti itu,” kata Katherine.
Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034 misalnya, pensiun dini PLTU belum masuk dalam rencana. Peraturan Menteri Nomor 10 Tahun 2025 tentang Peta Jalan Energi Sektor Ketenagalistrikan juga baru menjadikan solusi tersebut sebagai opsi, bukan mandat atau kewajiban.
PLTU Picu Berbagai Efek Kesehatan
Laporan CREA, CELIOS, dan Trend Asia menunjukkan aktivitas PLTU dapat menyebarkan partikulat halus (PM2,5), sulfur dioksida (SO2), nitrogen dioksida (NOx), merkuri, serta logam berat lainnya.
Laporan tersebut menyatakan, standar emisi polutan udara yang relatif longgar membuat PLTU batu bara di Indonesia cenderung tidak memiliki teknologi pengendalian polutan SO2 dan NOx. Padahal, polutan ini berkontribusi signifikan terhadap polusi PM 2,5 yang sangat berbahaya bagi kesehatan.
Dalam paparannya, Katherine menjelaskan beberapa dampak kesehatan dari polusi udara. Di antaranya kelahiran prematur, kelahiran dengan berat badan kurang, atau kasus baru asma pada anak-anak.
Efek lainnya, menimbulkan penyakit kronis seperti penyakit paru obstruktif kronis, stroke, atau diabetes, hingga meningkatkan angka kematian. Hal tersebut juga kembali berpengaruh pada aspek ekonomi, dimana masyarakat harus menanggung kerugian dampak kesehatan.
Novi Kurniati, seorang warga yang tinggal di sekitar PLTU Cilacap, Jawa Tengah, mengungkap dampak kesehatan yang dirasakan kerabatnya. “Yang jelas itu dirasakan sama anak-anak, balita. Ada tetangga terus keponakanku sendiri juga itu merasakan asma,” tuturnya.
“Terus diperiksakan ke dokter. Tanpa menyebutkan alamatnya di mana, dokternya bilang ‘pasti tinggalnya dekat PLTU, ya?" kata Novi menambahkan pengalaman keluarganya.
Novi juga bercerita banyaknya warga yang menjual tanah kepada pengelola PLTU, lalu pindah dari lokasi tersebut. Alasannya, warga tidak bisa lagi menampung biaya perawatan dari dampak kesehatan yang dirasakan.
Faktor lainnya, tanah yang terus digerus abrasi menimbulkan kekhawatiran masyarakat, sehingga mereka memilih menjualnya kepada PLTU.
Kesaksian serupa juga diberikan Dedy Susanto, warga yang tinggal di sekitar PLTU Pangkalan Susu, Sumatra Utara.
“Dampak kesehatannya itu tadi, gatal-gatal sama sesak napas,” kata Dedy.
Dedy menjelaskan, dulu ketika warga mengalami luka atau gatal-gatal, obatnya hanya mandi di air asin (air laut). Akan tetapi, kini hal tersebut hanya memperburuk kondisi. “Kalau sekarang, bukan sembuh malah makin tumbuh,” katanya.
Selain menimbulkan cemaran udara dari asap yang dihasilkan, limbah PLTU yang dibuang begitu saja ke laut juga memicu cemaran hingga berdampak pada kesehatan.
“Kalau bisa ditutup (PLTU), karena itu membunuh warga Pangkalan Susu,” ucap Dedy.
Penurunan tingkat kesehatan juga berdampak pada produktivitas penduduk. “Selain mengakibatkan tingginya angka ketidakhadiran kerja, kehadiran PLTU mengakibatkan 1,45 juta tenaga kerja kehilangan pekerjaan,” kata Peneliti CELIOS, Atina Rizqiana.
Kiki sapaan akrabnya, menyebut pertanian, perkebunan, dan perikanan sebagai sektor yang paling terdampak PLTU akibat pencemaran lingkungan. Hal ini kontras dengan janji pemerintah membuka 19 juta lapangan kerja. “Pemerintah justru menghilangkan sumber ekonomi masyarakat,” ujarnya.
