Tantangan Perundingan Iklim COP30 di Brasil Setelah AS Pergi
Kepemimpinan negara-negara berkembang dinilai akan menjadi kunci dalam hajatan Conference of Parties (COP) 30 di Belem, Brasil pada 10-21 November 2025.
President dan CEO World Resource Institute (WRI) Ani Dasgupta mengatakan negara-negara berpendapatan menengah berperan penting di gelaran COP29 di Baku, Azerbaijan. Selain karena populasinya besar, negara-negara ini juga menyimpan biodiversitas yang tinggi.
“Saat ini kita menghadapi tantangan besar dalam aksi iklim, seiring dengan mundurnya Amerika Serikat,” katanya.
Dasgupta menyebut saat ini aksi iklim di Eropa juga terlihat melambat. Namun, ia melihat negara-negara berkembang seperti Cina dan India justru terlihat aktif mendorong transisi energi. Sementara itu, Brasil yang menjadi tuan rumah juga terlihat mulai mendorong pertumbuhan ekonomi berbasis perlindungan hutan. Potensi ekonomi hutan ala Brasil disebut bisa menghasilkan lebih dari US$8 miliar tambahan GDP dan menciptakan 300.000 lapangan pekerjaan di 2050.
“Kemakmuran ekonomi, keamanan energi, dan dekarbonisasi sama-sama penting bagi negara-negara ini,” katanya.
WRI menyebut COP30 menghadapi empat prioritas mendesak untuk menjembatani antara kesenjangan antara ambisi dan aksi nyata krisis iklim:
- Menetapkan Komitmen Nasional yang Lebih Kuat
Setiap negara perlu memperkuat Nationally Determined Contributions (NDC) mereka dengan rencana yang konkret dan berbasis data. Komitmen baru ini harus menunjukkan jalur yang realistis untuk mencapai target pemanasan global 1,5°C, sekaligus menyelaraskan kebijakan nasional dengan tujuan iklim global.
- Mentransformasi Sistem Keuangan Global
Transisi menuju ekonomi hijau, inklusif, dan tangguh membutuhkan perubahan mendasar dalam arsitektur keuangan dunia. Semua bentuk pembiayaan harus diarahkan untuk mendukung transformasi hijau. Dana juga harus benar-benar menjangkau negara dan komunitas yang paling membutuhkan.
- Meningkatkan Ketahanan Iklim (Climate Resilience)
Investasi dalam adaptasi harus dipandang sebagai investasi untuk pertumbuhan, keamanan, dan pembangunan. Dunia perlu menyepakati target ambisius baru untuk pembiayaan adaptasi serta menetapkan indikator yang jelas dan terukur guna memantau kemajuan di lapangan.
- Melindungi Alam dan Memperkuat Hak Masyarakat Adat
Upaya mengatasi krisis iklim dan kerusakan alam harus dilakukan secara terpadu. Ini mencakup perlindungan keanekaragaman hayati, reformasi sistem pangan global, serta pengakuan dan perlindungan hak-hak tanah masyarakat adat.
Indonesia Siap Dukung Brasil
Presiden Prabowo Subianto berkomitmen membantu inisiatif pemerintah Brasil COP30. Prabowo menyebut pemerintah akan berinvestasi dalam skema Tropical Forest Forever Facility (TFFF).
"Saya sudah menyampaikan bahwa Indonesia mendukung inisiatif yang dirintis Brasil. Karena itu, kami berkomitmen untuk menginvestasikan nilai yang sama dengan rencana investasi Brasil dalam inisiatif pelestarian hutan tropis," kata Prabowo di Istana Kepresidenan Jakarta, Kamis (23/10).
Presiden Brasil, Luiz Inácio Lula da Silva, mengatakan Indonesia menjadi mitra strategis dalam perjuangan menangani krisis iklim. Sebab, Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan tropis yang luas. Lula menilai keterlibatan Indonesia dalam Dana Abadi Hutan Tropis menjadi penting. Menurutnya, salah satu strategi yang dilakukan pemerintahan Brasil dan Indonesia untuk mengatasi perubahan iklim adalah bahan bakar nabati.
"Indonesia dan Brasil akan bekerja sama untuk transisi energi yang adil menuju ekonomi dengan sedikit polusi dan lebih berkelanjutan," kata Lula saat berkunjung ke Jakarta.
AS Absen dari COP30
Sementara itu, posisi Amerika Serikat terlihat semakin jelas dalam gelaran COP30. Seorang pejabat Gedung Putih mengatakan AS tidak akan mengirim pejabat tinggi mana pun ke COP30.Hal ini mengurangi kekhawatiran di antara para pemimpin dunia bahwa Washington akan mengirim tim untuk menggagalkan pembicaraan iklim tersebut.
Awal bulan ini, AS mengancam akan menggunakan pembatasan visa dan sanksi untuk membalas negara-negara yang akan memilih mendukung rencana yang diajukan oleh badan pelayaran PBB, Organisasi Maritim Internasional (IMO), untuk mengurangi emisi gas rumah kaca penyebab pemanasan global dari pelayaran laut.
Taktik-taktik itu menyebabkan mayoritas negara di IMO memilih untuk menunda selama setahun keputusan tentang harga karbon global untuk pelayaran internasional. Pejabat Gedung Putih itu mengatakan, Presiden Donald Trump telah menjelaskan pandangan pemerintahannya tentang aksi iklim multilateral dalam pidatonya di Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bulan lalu.
Trump menyebut perubahan iklim sebagai "penipuan terbesar" di dunia dan menegur negara-negara karena menetapkan kebijakan iklim yang menurutnya "telah merugikan negara mereka."
