CERAH Kritik Revisi Perpres Pengembangan EBT, Bisa Hambat Transisi Energi
Policy Strategist CERAH Naomi Devi Larasati, menilai draf revisi Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 telah melemahkan upaya transisi energi. Ini lantaran revisi tersebut menambah pengecualian pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang berpotensi menghambat pengembangan energi terbarukan lebih masif.
"Alih-alih mempercepat transisi menuju energi terbarukan, sejumlah perubahan dalam rancangan beleid ini justru membuka peluang lebih lebar pembangunan PLTU," kata Naomi dalam pernyataan resmi, Senin (10/11).
Mengacu dokumen konsultasi publik, Pasal 3 Perpres 112/2022 akan diubah demi menambahkan pengecualian pembangunan PLTU baru dengan dalih untuk menjaga keandalan sistem dan kemandirian energi.
Padahal, beleid yang masih berlaku saat ini telah memberikan pengecualian bagi pembangunan PLTU untuk yang telah ditetapkan dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL), serta PLTU yang terintegrasi dengan industri yang dibangun untuk peningkatan nilai tambah sumber daya alam, atau termasuk Proyek Strategis Nasional (PSN).
Naomi menyebut perubahan ini kontradiktif dengan komitmen Presiden Prabowo Subianto yang ingin mencapai 100% energi terbarukan pada 2035. Adanya pengecualian, meskipun disertai syarat komitmen penurunan emisi, akan tetap menambah kapasitas PLTU sehingga struktur energi nasional masih bertumpu pada batu bara.
"Bagaimana transisi bisa berjalan jika sumber energi yang seharusnya dikurangi justru terus diberi ruang?” ujar Naomi.
Solusi Palsu Transisi Energi
Senada, Policy & Program Manager CERAH, Wicaksono Gitawan, mengatakan dalam rencana revisi tersebut, syarat komitmen pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) ditetapkan minimal 35% dalam sepuluh tahun.
Namun, teknologi pengurangan yang ditulis dalam revisi ini justru mengarah ke solusi palsu transisi energi. Misalnya, pembangkit listrik tenaga (PLT) hibrida yang mengkombinasikan energi fosil dan energi terbarukan, co-firing biomassa, carbon offset, dan bauran energi terbarukan.
“PLT Hibrida merupakan celah yang sengaja dimasukkan sebagai loophole revisi Perpres ini. Jika melihat ke RUPTL 2025-2034, ada beberapa PLTU Hibrida yang sudah direncanakan, seperti PLTU Mulut Tambang Kalselteng-3. Karena on-grid, penambahan PLT Hibrida ini pasti memperlambat masuknya pembangkit energi terbarukan,” kata Wicaksono.
Wicaksono menambahkan, perluasan pengecualian pembangunan PLTU baru akan menyulitkan berkembangnya energi terbarukan. Berkaca pada warisan kebijakan energi dari era sebelumnya, Program 35 Ribu MW yang diluncurkan pada 2015 menyebabkan kelebihan pasokan listrik di jaringan Jawa-Bali dari PLTU.
Imbasnya, sistem kelistrikan nasional terkunci pada infrastruktur batu bara dalam jangka panjang yang mengakibatkan rendahnya pertumbuhan energi terbarukan di Indonesia.
Syarat lain pengecualian pembangunan PLTU baru yang dalam revisi beleid tersebut harus mendukung Net Zero Emission (NZE) 2060 sesuai dengan Kebijakan Energi Nasional (KEN).
“Namun, klausul ini tidak disertai peta jalan teknis kapan PLTU tersebut harus turun produksi atau pensiun, tidak ada target penurunan emisi bertahap, dan tidak ada instrumen pengawasan dan sanksi yang jelas jika target tidak tercapai,” tutur Naomi.
Menurut Wicaksono, rencana revisi Perpres 112/2022 menambah daftar panjang dokumen resmi kebijakan energi nasional yang tidak sejalan dengan komitmen 100% energi terbarukan Presiden Prabowo, termasuk Kebijakan Energi Nasional (KEN), Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) dan RUPTL 2025-2034.
Bahkan, dokumen terbaru rancangan investasi Just Energy Transition Partnership (JETP) yang masih dalam konsultasi publik, justru mengubah strategi pensiun dini menjadi repurposing PLTU dengan pengurangan emisi.
“Presiden Prabowo perlu mengkaji ulang kebijakan energi yang disusun oleh kabinetnya, agar komitmen yang disampaikannya di forum internasional tidak menjadi sekadar janji. Dorongan nyata untuk meningkatkan bauran energi terbarukan harus diwujudkan dengan kebijakan yang mendukung," ujarnya.
