WALHI Soroti Strategi Pemerintah Andalkan Perdagangan Karbon di COP30

Ajeng Dwita Ayuningtyas
11 November 2025, 17:30
WALHI, COP30, perdagangan karbon
COP30 Brasil Amazonia/Antonio Scorza
Suasana di Paviliun Indonesia yang ada di Konferensi Tingkat Tinggi Iklim PBB COP30 di Kota Belem, Brasil.
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Pemerintah Indonesia menawarkan perdagangan karbon berintegritas tinggi sebagai solusi untuk mengatasi perubahan iklim di Paviliun Indonesia di COP30, Brasil. Namun, WALHI menilai strategi ini layaknya membuka pasar dagang bagi hutan dan sumber daya lainnya. 

Proposal utama pemerintah di COP30 adalah potensi kredit karbon 90 juta ton, potensi dekarbonisasi, dan Second Nationally Determined Contribution (SNDC) yang menjadi kendaraan mencapai komitmen iklim Indonesia. 

Namun, berbagai kelompok masyarakat sipil termasuk WALHI, menganggap perdagangan karbon dan dekarbonisasi sebagai solusi sesat. 

“Banyak proyek penggantian kerugian karbon yang berjalan dengan klaim meragukan,” kata Manajer Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional, Uli Arta Siagian, seperti dikutip dari keterangan resmi, Selasa (11/11).

Menurut WALHI, perdagangan karbon hanya cara untuk mengamankan rezim industri ekstraktif serta finansialisasi alam. Kedua hal tersebut selama ini justru menjadi penyebab utama krisis iklim dan pelanggaran hak asasi manusia.

Perdagangan karbon menerapkan prinsip penyeimbangan atau offset. Korporasi atau negara-negara boleh melepaskan emisi dari aktivitas ekstraksi dan industrialisasi, bahkan melalui batasan emisi, dengan syarat menyeimbangkan karbon. Hal itu bisa dipenuhi dengan membeli karbon di pasar karbon. 

Menggusur Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal

Menurut WALHI, konsesi karbon di berbagai tempat telah mengeksklusi masyarakat adat dan komunitas lokal dari ruang hidupnya. Proyek karbon di Jambi misalnya, telah mengusir Suku Anak Dalam. Kemudian, proyek karbon di Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat, berpotensi menyingkirkan masyarakat adat dan mengkriminalisasinya. 

Hutan seluas 13 ribu hektare milik masyarakat akan menjadi lokasi proyek. Namun, dari presentasi perusahaan, masyarakat adat dilarang melakukan ritual adat, aktivitas sehari-hari, berburu-meramu, dan membakar ladang. 

Hal serupa juga terjadi di proyek karbon lain. Contohnya, proyek Kalimantan Forest Climate Partnership di Kalimantan Tengah, yang merupakan kerja sama antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Australia. Contoh lain, proyek REDD yang gagal di Ulu Masen, Aceh.

Dampak Ekologis Proyek Dekarbonisasi

Sebanyak 90% dari semua upaya dekarbonisasi membutuhkan energi terbarukan melalui pasokan listrik yang murah, peningkatan efisiensi, penerapan elektrifikasi, dan penggunaan sumber energi berkelanjutan. 

Tapi, proyek-proyek yang ada saat ini membawa dampak ekologis sangat besar. WALHI mencontohkan proyek gas dan liquefied natural gas (LNG).

Rencana perluasan LNG existing saat ini dan di masa mendatang, justru meningkatkan emisi hingga tingkat berbahaya. Komponen terbesar dari gas fosil, yaitu metana, merupakan gas rumah kaca penyumbang pemanasan global terbesar kedua setelah karbon dioksida.

“Industri gas dan LNG tak lepas dari pelanggaran HAM dan perusakan lingkungan,” kata Direktur Eksekutif Nasional WALHI, Boy Jerry Even Sembiring.

Salah satu kasus besarnya adalah operasi gas PT Lapindo Brantas di Sidoarjo, Jawa Timur. Tragedi “Lumpur Lapindo” pada 2006 lalu, telah menenggelamkan wilayah seluas 900 hektare dan mengusir lebih dari 100 ribu jiwa dari lokasi tersebut. 

Beberapa waktu kebelakang, publik juga diramaikan dengan kesaksian sebelas korban dugaan pelanggaran HAM oleh perusahaan minyak dan gas terbesar Amerika Serikat, Exxonmobil, di Aceh. Kasus tersebut dirilis ke publik pada Agustus 2022, oleh Pengadilan Distrik Washington D.C.

Rencana pembangunan terminal LNG di kawasan Sanur, Bali, juga ditolak warga karena mengancam kelestarian hutan mangrove, terumbu karang, serta area suci warga. 

WALHI Ragukan Komitmen SNDC 

WALHI meragukan komitmen pemerintah dalam SNDC. Pasalnya, SNDC disusun dengan mengabaikan partisipasi publik dan masih mengedepankan skema ekstraktif. 

Berdasarkan analisis WALHI, terdapat 26 juta hektare hutan alam yang berada di konsesi-konsesi hak guna usaha, izin usaha pertambangan, dan perizinan berusaha pemanfaatan hutan. 

Kebijakan hilirisasi nikel serta swasembada pangan dan energi menjadi pendorong besar pembukaan hutan dalam konsesi tersebut. Bahkan, untuk hutan yang saat ini belum dibebani oleh izin. Seluas 15 juta hektare hutan yang menjadi bagian proyek 20 juta hektare hutan untuk pangan dan energi, misalnya, akan diambil dari kawasan hutan yang saat ini belum dibebani izin.

“Selama orientasi ekonomi nasional dan global masih untuk mengejar pertumbuhan ekonomi, aksi dan adaptasi iklim Indonesia bahkan negara-negara di dunia lainnya akan tetap gagal menjawab target iklim,” ujar Boy.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Ajeng Dwita Ayuningtyas

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...