People Summit Mendesak Adanya Keadilan Iklim di COP30
Lebih dari 5.000 orang datang dengan sekitar 200 kapal, berlayar bersama di perairan Belém, Brasil selama COP30. Mereka berdemonstrasi menuntut keadilan iklim lewat People Summit di Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim PBB atau COP30.
Greenpeace bergabung dengan armada kapal Rainbow Warrior, yang telah berlabuh di Universitas Federal Pará selama COP30. Acara ini dihadiri oleh orang-orang dari 60 negara, yang mewakili kekuatan dan persatuan masyarakat sipil dan organisasi Masyarakat Adat dari berbagai negara.
Carolina Pasquali, Direktur Eksekutif Greenpeace Brasil, mengatakan ribuan orang yang ikut dalam People Summit menunjukkan kekuatan gerakan global yang bersatu. Mereka terdiri atas komunitas yang terdampak oleh peristiwa cuaca ekstrem dan perusahaan yang mengambil untung dari kerusakan planet Bumi, Masyarakat Adat yang telah berjuang selama beberapa generasi untuk hak-hak mereka, serta masyarakat sipil yang menuntut tindakan nyata dari para pemimpin dunia dan negosiator di COP.
"Ini harus menjadi COP yang penuh aksi. Aksi untuk iklim, aksi untuk hutan, aksi untuk rakyat," kata Pasquali dalam keterangan tertulis di situs Greenpeace, Rabu (12/11).
Para Pemimpin Adat dan perwakilan masyarakat dari beberapa negara bergabung dengan armada di atas Rainbow Warrior, seperti Trixy Sumabal Elle, yang mewakili komunitas terdampak iklim dari Filipina. Selain itu, Fransiska Rosari Clarita You, Pemuda Adat dari Papua, Indonesia, Kepala Suku Marcos Xukuru, dari masyarakat Xukuru di negara bagian Pernambuco, dan Luene Karipuna, Pemimpin Adat dari negara bagian Amapá di Brasil. Kelompok yang mewakili Gerakan Masyarakat Terdampak Pembangunan Bendungan juga turut serta.
Masyarakat Adat Jadi Solusi Krisis Iklim
Luene Karipuna, Pemimpin Adat negara bagian Amapa di Brasil, mengatakan mereka hadir di COP30 untuk menyampaikan kepada masyarakat bahwa Masyarakat Adat, pengetahuan leluhur, dan perlindungan tanah adat adalah jawaban krisis iklim.
"Wilayah kami terdampak oleh eksplorasi minyak di Amazon dan kurangnya penghormatan terhadap hak-hak Masyarakat Adat. Kami membutuhkan COP untuk membahas transisi energi guna menghilangkan bahan bakar fosil. Ini adalah COP yang membutuhkan keputusan,” ucapnya.
Ia menyebut tanah-tanah adat harus menjadi pusat perdebatan dan dilindungi dalam kebijakan iklim. Menurutnya, dunia perlu memahami bahwa jawaban atas krisis iklim ada di wilayah-wilayah adat dan kearifan masyarakat adat.
Pada COP30, Greenpeace menyerukan Rencana Respons Global untuk mengatasi kesenjangan ambisi 1,5°C dan mempercepat pengurangan emisi dalam dekade kritis ini. Greenpeace juga mendesak adanya Rencana Aksi Hutan 5 tahun yang baru dan berdedikasi untuk mengakhiri deforestasi pada tahun 2030.
Greenpeace juga menyoroti pembentukan agenda tetap UNFCCC baru untuk mendorong pelaksanaan New Collective Quantified Goal (NCQG), khususnya peningkatan pendanaan publik dari negara-negara maju, dan memajukan perpajakan yang membayar polusi untuk membuka pendanaan publik yang ditingkatkan bagi negara-negara berkembang.

