AMAN Tuntut Pemerintah Hentikan Kekerasan Terhadap Masyarakat Adat
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi menuntut pemerintah menghentikan kekerasan terhadap Masyarakat Adat.
Sekretaris Jenderal Rukka mengatakan di Indonesia masyarakat adat masih rentan dikriminalisasi atas nama pembangunan dan percepatan proyek strategis nasional. Rukka menegaskan, Masyarakat Adat telah mewarisi pengetahuan tradisional secara kolektif yang menopang setiap upaya dalam menjaga ekosistem. Namun, suara mereka kerap terpinggirkan dalam perundingan guna mengatasi krisis iklim.
“Stop kriminalisasi Masyarakat Adat! Sahkan RUU Masyarakat Adat sekarang!” kata Rukka di sela-sela COP30 di Belem, Brasil.
Rukka mengatakan beberapa kasus kriminalisasi terhadap masyarakat adat masih terjadi di beberapa daerah. Ini misalnya masyarakat adat Maba Sangaji di Pulau Halmahera, Poco Leok di Pulau Flores, Soge dan Goban Runut di Nangahale di Sikka Nusantara Tenggara Timur, dan masyarakat adat Togean di Kepulauan Togean, Sulawesi Tengah.
Pada Oktober 2025, Pengadilan Negeri Soasio di Tidore Kepulauan, Maluku Utara, menghukum 11 orang Masyarakat Adat Maba Sangaji dengan hukuman penjara selama lima bulan delapan hari. Sebelumnya, Masyarakat Adat Maba Sangaji memprotes aktivitas tambang nikel PT Position dengan menggelar serangkaian ritual adat. Hakim menyatakan Masyarakat Adat Maba Sangaji bersalah menghalangi aktivitas tambang nikel PT Position.
Lalu, sejumlah pemuda Poco Leok mengalami kriminalisasi berulang sejak PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) memperluas eksplorasi geothermal di wilayah adatnya. Selain itu, hingga hari ini sebanyak 19 orang Masyarakat Adat Kepulauan Togean, Sulawesi Tengah masih menghadapi proses hukum lantaran menolak Taman Nasional Kepulauan Togean yang penetapan zonasinya tidak melibatkan masyarakat.
Sementara itu, tujuh masyarakat adat di Sikka, Pulau Flores dijadikan tersangka atas dugaan mengancam imam Katolik pemimpin PT Kristus Raja Maumere, korporasi perkebunan kelapa milik Keuskupan Maumere yang terlibat dalam konflik lahan.
Dalam “Catatan Akhir Tahun 2024: Transisi Kekuasaan dan Masa Depan Masyarakat Adat Nusantara,” AMAN mencatat 687 konflik agraria di wilayah adat seluas 11,07 juta hektare dalam satu dekade terakhir. Konflik tersebut mengakibatkan lebih dari 925 orang warga Masyarakat Adat dikriminalisasi.
“Kami menuntut negara untuk menghentikan kriminalisasi terhadap masyarakat adat,” katanya lagi.
Selain itu, pihaknya juga menuntut agar negara segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat sebagai jalan keluar bagi serangkaian persoalan yang terus mengancam dan menindas Masyarakat Adat. Hingga kini, RUU Masyarakat Adat yang telah dibahas sejak 2009 itu masih belum disahkan.
Rukka juga mempersoalkan sejumlah istilah baru yang mulai masuk ke wilayah adat, seperti perdagangan karbon, ekonomi hijau, energi hijau, transisi energi berkeadilan dan green jobs. Dia menilai, alih-alih membawa kesejahteraan bagi Masyarakat Adat, istilah asing itu justru menambah ancaman baru bagi Masyarakat Adat.
“Masyarakat Adat kini malah menghadapi stigma dan diskriminasi akibat proyek-proyek yang mengatasnamakan energi hijau,” katanya.
