KLH: Persoalan Lingkungan Membesar, Butuh Paradigma Hukum Baru
Bencana yang melanda Pulau Sumatra mengindikasikan kondisi alam ‘tidak biasa’ sebagai dampak dari perubahan iklim. Sekretaris Utama Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (KLH/BPLH) Rosa Vivien Ratnawati mengatakan, paradigma hukum baru diharapkan bisa atasi masalah lingkungan terkini.
“Karena persoalan lingkungan semakin besar. Mungkin kalau dulu bisa diatasi dengan hukum lingkungan yang ada, tapi sekarang makin besar, kita butuh sesuatu yang lain,” kata Vivien, saat ditemui usai Peluncuran buku ‘Paradigma Hukum Baru Atasi Krisis Iklim’ yang diselenggarakan IOJI dan ICEL, di Jakarta, Kamis (4/12).
Menurut Vivien, ketentuan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 sudah tergolong kuat. Dari sisi perencanaan, pengendalian, maupun penegakan hukum.
Meski begitu, paradigma baru dalam hukum lingkungan diharapkan bisa mengatasi masalah lingkungan dengan lebih relevan.
Akibat Paradigma yang Fokus pada Manusia
Pendiri sekaligus Direktur Utama Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) Mas Achmad Santosa menilai, pandangan antroposentris atau manusia sebagai pusat dunia, membuat alam tidak memperoleh perlindungan proporsional dan berada di subordinat pertumbuhan ekonomi.
Berbagai bencana ekologis, menurutnya, menjadi tanda bahwa hukum dan kebijakan lingkungan hidup yang ada tidak mampu merespons kompleksitas bumi di era antroposentris.
“Realitas ini menuntut perubahan dasar dalam memandang hukum. Dari paradigma yang berpusat pada manusia, menuju hukum yang mengakui koeksistensi ekonomis, mengakui hubungan manusia dan alam,” tutur Ota, sapaan akrab Mas Achmad Santosa.
Hal tersebut kemudian mendorong IOJI bersama Indonesia Center for Environmental Law (ICEL) untuk merilis buku ‘Paradigma Hukum Baru Atasi Krisis Bumi’, dalam rangka menjawab kebutuhan pembaruan dan pendekatan hukum yang lebih responsif.
Buku tersebut menawarkan enam prinsip yang diusulkan untuk diadopsi jadi paradigma baru. Keenam prinsip tersebut adalah strong sustainability, ecological primacy, ecological integrity, ecological limits, ecological justice, dan ecological democracy, governance, & rule of law.
Strong sustainability menegaskan critical natural capital bukan komoditas atau modal yang dapat digantikan oleh kekayaan buatan manusia. Lalu, ecological primacy menempatkan ekologi di posisi yang lebih tinggi dibandingkan kebijakan pembangunan lainnya.
Sementara ecological integrity membahas ketergantungan makhluk hidup dan sistem bumi yang kompleks, ecological limits menetapkan batas jelas untuk mencegah eksploitasi berlebih dan degradasi ekologis, lalu ecological justice mengupayakan keadilan lintas generasi, spesies, dan komunitas dengan prinsip keadilan prosedural, distributif, serta pengakuan.
Ecological democracy, governance, & rule of law menilai keberhasilan penanganan krisis bumi sangat bergantung pada kondisi demokrasi yang sehat, tata kelola yang baik, dan rule of law yang efektif.
