Kemenkeu Sebut Ada Peluang Bisnis Properti Ikut Pasar Karbon RI
Bisnis properti berpeluang memanfaatkan pasar karbon pascaterbitnya Peraturan Presiden Nomor 110 Tahun 2025 tentang Nilai Ekonomi Karbon. Hal ini disampaikan Deputi Direktur Kerja Sama Multilateral dan Keuangan Berkelanjutan Kementerian Keuangan, Irwan Dharmawan.
“Dalam kapasitas green building (bangunan hijau), nanti itu bisa dinilai emisi karbonnya berapa, aktivitasnya berapa, nanti dapat sertifikat registri unit karbon,” kata Irwan, dalam diskusi ‘Multistakeholder Forum on Cost-Efficient Green Buildings and Feasible Financing Schemes’ di Jakarta, Selasa (9/12).
Irwan menambahkan, peluang tersebut tidak terbatas pada pengembangan bangunan hijau atau berkelanjutan, tapi juga dari aktivitas karbon lainnya.
“Jadi sisi bisnisnya jalan, profitnya jalan, membantu lingkungan dan isu iklim Indonesia juga jalan,” kata Irwan.
Singkatnya, bangunan bersertifikasi hijau merupakan bangunan yang ramah lingkungan. Bangunan hijau (green building) dibangun dengan material berkelanjutan, beroperasi secara hemat energi, serta memanfaatkan sumber daya seperti air dan udara dengan efisien.
Indonesia’s Country Director Global Buildings Performance Network (GBPN) Farida Lasida Adji menilai positif keberadaan Perpres 110/2025 ini. GBPN sudah mulai berdiskusi dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan Kementerian Pekerjaan Umum terkait hal ini.
Namun, perlu perumusan metodologi pengakuan agar efisiensi energi dari bangunan bisa mengikuti arus pasar karbon di Indonesia. Di mana hal ini berada di bawah kewenangan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH).
“Jadi memang perlu dibangun metodologi, bahwa energy saving dari bangunan bisa diverifikasi,” kata Ida.
Sementara dari catatan IDXCarbon, sejauh ini baru ada sembilan proyek energi terbarukan dan pemanfaatan limbah sebagai produk Sertifikat Pengurangan Emisi-Gas Rumah Kaca (SPE-GRK) yang diperdagangkan.
