Proses Rumit, Biaya Produksi & Harga Jual D100 Pertamina Dipertanyakan
Langkah Pertamina memproduksi green diesel atau D100, bahan bakar ramah lingkungan hasil pengolahan minyak kelapa sawit 100% di Kilang Dumai diapresiasi sebagian kalangan. Namun, ada pula yang mempertanyakan biaya pokok produksi bahan bakar ini, apakah ke depan dipasarkan dengan harga terjangkau ke masyarakat serta tak memerlukan subsidi negara.
Founder PT FSC Oleo Chemical Riza Mutiara, menilai komponen biaya produksi penting diperhatikan. Hal ini kedepannya tidak membebani rakyat dan negara dalam bentuk subsidi ketika D100 mulai dipasarkan ke Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU).
Menurut dia, bila harga produksi D100 diasumsikan setara produk Pertamina Dex yang dibandrol dengan Rp 10.200 perliter di SPBU, maka nilainya kemungkinan akan jauh di atas itu.
Pasalnya, harga bahan baku Refined, Bleached and Deodorized Palm Oil (RBDPO), katalis, dan biaya proses kilang yang lebih kompleks dengan menggunakan hidrogen yang banyak menyebabkan biaya produksinya lebih mahal.
(Baca: Hindari Kerusakan Mesin, Gaikindo Minta Spesifikasi D100 ke Pertamina)
"Karena untuk memproduksi D100, CPO yang diproses menjadi RBDPO membutuhkan proses panjang," ujarnya seperti dikutip berdasarkan keterangan tertulis, Minggu (19/20).
Menurutnya, CPO refinery menghasilkan 94% RBDPO dan 5% PFAD ( Palm Fatty Acid Distilate), sehinga semakin besar kapasitasnya, maka akan semakin murah biaya produksinya. Namun untuk produksi D100 Petamina yang memakai katalis mp (merah putih) yang belum diketahui berapa rincian harganya.
Jika rata-rata harga bahan baku CPO mencapai RM 2500 per ton dan harga RBDPO US$ 654.50 per ton, maka menurutnya dapat dihitung biaya produksi D100, dan harga jual produk tersebut.
"Berapa harga jual supaya Pertamina tidak memerlukan subsidi dan berapa biaya logistik dari mendatangkan CPO ke Dumai dan biaya distribusi D100 ke SPBU seluruh Indonesia," ujarnya.
Di sisi lain, apabila RBDPO dilanjutkan ke proses fraksinasi akan menghasilkan olein atau minyak goreng 77% dan stearine 17%. Sementara, saat ini harga retail minyak goreng dalam kemasan sekitar Rp 29.000 per 2 kilogram. Stearine diproses menjadi mentega dijual retail 500 gram sekitar Rp 12.500.
"Sehingga kalau CPO harganya naik di pasaran, tentu pertanyaannya apakah Pertamina bisa menjual minyak goreng dan mentega serta sabun cuci batangan untuk menghindari kerugian dipenjualan D100," ujarnya.
Tak hanya itu, dia juga menyebut, program D100 juga perlu dibandingkan dengan B30. Pasalnya, B30 yang dapat diproduksi memakai bahan baku CPO, minyak goreng bekas, acid oil 100%, minyak limbah pabrik kelapa sawit (PKS), stearine dan lemak binatang yang dibangun oleh ratusan pengusaha berkapaistas kecil di setiap kabupaten untuk menekan biaya logistik.
"Tentu antara kedua pilihan ini, apakah D100 maupun biodiesel/fame akan mengalami kesulitan bila harga CPO naik yang membuat harus ada subsidi, sementara harga TBS ( tandan buah segar) harus tetap di kenakan PPN dan ekspor CPO dikenakan bea keluar, tentu petani sawit belum happy," kata dia.
Dengan faktor tersebut, ia pun mengusulkan agar Pertamina langsung saja memproduksi synthetic diesel oil euro 5. Pasanya, jenis bahan bakar ini bisa diproduksi dengan bahan baku TBS, sampah plastik bekas, limbah pertanian, kayu, rumput gajah, ban bekas, batang sawit, bambu janjang kosong kelapa sawit dan lowrank batu bara.
Dia pun memperkirakan untuk memproduksi Synthetic Diesel Oil B100 Euro 5 berbahan baku langsung dari TBS, harga jualnya bisa mencapai Rp 4000/liter dan sudah termasuk keuntungan Pertamina.
Jika itu dilakukan, harga TBS pun bisa meningkat menjadi Rp 1900/kg, kesejahteraan petani sawit terjamin serta lingkungan hidup terjaga, defisit transaksi berjalan negara tertolong.
Oleh sebab itu, Riza mengatakan kajian keekonomian sebelum memproduksi D100 berbasis RBDPO atau TBS.
Secara terpisah, Pertamina sendiri mengklaim produk D100 yang diproduksikan perusahaan menghasilkan performa dan emsisi lebih baik. Pasalnya, D-100 memiliki spesifikasi Cetane Number yang sangat tinggi, yaitu hingga 79 dan diyakini dapat menghasilkan performa kendaraan yang lebih baik sebagai campuran bahan bakar.
Deputy CEO PT Kilang Pertamina Internasional (KPI), Budi Santoso Syarif mengklaim, hasil uji performa telah membuktikan bahwa D-100 yang diproduksi Perdana di Kilang Dumai Pertamina dapat menjawab kebutuhan green energy di Indonesia. Hal ini karena D-100 dibuat dari 100% bahan nabati turunan dari CPO atau kelapa sawit yang banyak terdapat di Indonesia
Dalam uji performa, bahan bakar yang digunakan yakni campuran D-100 sebanyak 20%, Dexlite sebanyak 50% dan FAME sebanyak 30% diketahui angka cetane number yang digunakan mencapai minimal 60. Angka ini lebih tinggi dari bahan bakar diesel yang ada saat ini.
“Demikian juga hasil uji emisi kendaraan menunjukkan penurunan Opacity (kepekatan asap gas buang) menjadi 1,7% dari sebelumnya 2,6% saat tidak dicampur dengan D-100,” ujarnya dalam keterangan tertulis.
Selain itu, selama uji coba, perusahaan juga mengklaim tidak ada excessive noise selama berkendara, tarikan mesin lebih bertenaga dan asap buang knalpot tetap bersih meski pada RPM tinggi. Dengan performa yang lebih baik tersebut, dia menilai akan membuat penggunaan BBM maupun perawatan mesin lebih hemat.