Pasar Obligasi Hijau Makin Menarik Usai Jerman Terbitkan Green Bond
Jerman membuat langkah besar dengan menerbitkan obligasi berwawasan lingkungan atau green bond pada awal pekan ini. Dana yang berhasil dihimpun mencapai 6,5 miliar euro (sekitar Rp 113,5 triliun dengan kurs Rp 17.465 per euro) untuk tenor 10 tahun. Angkanya melampaui target 4 miliar euro.
Melansir dari Investing.com, Selasa (8/9), nilai yang fantastis itu mewakili sekitar 10% pasar obligasi hijau dunia. Jerman sekarang berada di posisi atas sebagai negara yang mengumpulkan dana dari pasar surat utang untuk proyek keberlanjutan lingkungan dan iklim.
Wakil Menteri Keuangan Jerman Jorg Kukies mengatakan obligasi hijau kedua akan terbit pada kuartal keempat 2020. Dengan begitu, total pengumpulan dananya dapat mencapai 11 miliar euro. “Masuknya pemerintah Jerman, yang sangat sukses ke segmen pasar sekuritas hijau, menunjukkan pendekatan inovatif yang diterima dengan baik oleh investor,” kata mantan bankir Goldman Sachs itu pada pekan lalu.
Banyak analis berharap keberhasilan Jerman ini membuka langkah serupa untuk negara lainnya. Spanyol, Italia, dan Austria dikabarkan akan mengikuti jejak Berlin. Perusahaan otomotif Daimler juga bakal masuk ke pasar obligasi ramah lingkungan.
Polandia merupakan pelopor penerbitan green bond Di Eropa pada 2016. Di tahun berikutnya, Prancis mengeluarkan obligasi serupa. Sebelum disalip oleh Jerman, Prancis merupakan penerbit obligasi hijau terbesar dengan nilai 27 miliar euro.
Jerman memastikan dana yang diperoleh akan sesuai oleh standar internasional, seperti Prinsip Obligasi Hijau dari Asosiasi Pasar Modal Internasional. Berlin telah mengidentifikasi 12,7 miliar proyek ramah lingkungan dan berjanji menjaga transparansi penggunaan dananya. Contohnya, pembangunan jalur kereta api dan sepeda hingga penelitian energi terbarukan.
Kanselir Jerman Angela Merkel sebelumnya berulang kali menekankan perlindungan iklim harus memainkan peran sentral dalam pemulihan ekonomi Eropa dari pandemi Covid-19. Begitu pula Gubernur Bank Sentral Eropa (ECB) Christine Lagarde. Pada Juli lalu ia menyebut aksi ekonomi hijau untuk menangkal perubahan iklim akan menjadi prioritas dalam pemulihan pasca pandemi corona.
Isu perubahan iklim menjadi sangat mendesak karena telah mengganggu ekosistem dan kehidupan makhluk hidup di dunia saat ini. Sekelompok peneliti Inggris menemukan, bumi kehilangan 28 triliun ton es pada 1994 hingga 2017 karena pemanasan global. Prediksinya, permukaan air laut dapat naik hingga satu meter pada akhir abad ini.
Selama 23 tahun, setidaknya 7,6 triliun ton es mencair di Arktik. Belting es Antartika juga mencair hingga 6,5 triliun ton. Temuan-temuan pemanasan global ini sesuai dengan prediksi terburuk yang telah ditekankan Panel Antarpemerintah Tentang Perubahan Iklim (IPCC).
Pasar Green Bond Dapat Capai US$ 1 Triliun
Aset dan investasi dengan tujuan lingkungan, sosial, dan tata kelola yang baik alias ESG investment telah naik US$ 1 triliun secara global, menurut catatan Forbes pada awal bulan ini. Nilainya naik dua kali lipat dalam tiga tahun terakhir.
Masuknya Jerman dalam obligasi hijau merupakan perkembangan paling signifikan. Surat utang negara itu selama ini dianggap yang paling aman di zona euro karena bebas risiko. Karena itu, penjualan green bond-nya dapat menjadi referensi penerbitan surat utang serupa.
“Langkah tersebut sangat penting karena memberi sinyal untuk perusahaan dan pemerintah lain menerbitkan obligasi hijau,” kata manajer portofolio dari Union Investment, Alexander Schubert, dikutip dari Forbes.
Obligasi hijau Jerman akan dipasangkan dengan jaminan surat utang konvensional bertenor dan kupon yang sama. Investor dapat menukar obligasi hijau mereka dengan obligasi konvensional setiap saat. Struktur ini dirancang untuk menghilangkan ketakutan sekuritas hijau yang kurang likuid akan diperdagangkan dengan harga lebih rendah.
Dengan masuknya Jerman, nilai pasar obligasi hijau diperkirakan mencapai US$ 1 triliun pada tahun depan. “Pasar obligasi hijau tumbuh setiap tahun, tapi langkah Jerman bisa membuka pintu air,” kata manajer portofolio di AXA Investment Managers, Johann Ple.
Nilai US$ 1 triliun itu sebenarnya terbilang kecil dari keseluruhan pasar utang. Jadi, menurut Ple, langkah tersebut baru awal perjalanan, peluang masih terbuka lebar.
Green bond, melansir dari Kontan.co.id, pertama kali terbit pada semester kedua 2008 oleh Bank Dunia. Indonesia pernah menawarkan green bond berbasis syariah dalam dua tenor sekaligus pada 2018. Hasilnya cukup memuaskan dengan nilai permintaan yang 2,4 kali lipat lebih tinggi dari penawaran. Pemerintah berhasil mengantongi US$ 3 miliar.
Dana tersebut untuk membiayai proyek infrastruktur terkait perbaikan lingkungan. Salah satunya, proyek pengendalian banjir dan drainase perkotaan. Meskipun menjamin tidak ada dana untuk infrastruktur berbasis bahan bakar fosil, namun dalam catatan Reuters ada pula proyek green sukuk itu yang mencakup aspek deforestasi.
Sektor kehutanan sebagai korban dari deforestasi dan degradasi menyumbang emisi karbon dioksida sebesar 26,8 miliar ton dari 2013-2018 akibat hilangnya tutupan pohon di Indonesia. Sementara 1,04 giga ton lainnya paling banyak disebabkan oleh sektor perkebunan. Dalam hal ini, sawit dan aktivitas dalam konsesi HPH-HTI menjadi penyebab langsung deforestasi.
Faktanya, lebih dari 80% riwayat penggundulan hutan akibat pembukaan lahan sawit yang terjadi terus menerus memberikan dampak yang signifikan terhadap iklim global. Karena itu, Indonesia dituding sebagai penghasil emisi gas rumah kaca terbesar ketiga di dunia.