Banyak Stigma Soal Nuklir, DPR Minta Pengembang Lakukan Sosialisasi
Pengembangan pembangkit listrik tenaga nuklir di Indonesia hingga kini masih menemui jalan buntu. Stigma masyarakat terkait bahayanya telah melekat sejak lama. Pandangan negatif itu semakin memburuk pasca-insiden kebocoran PLTN Fukushima, Jepang, pada 2011. Lalu, pada awal tahun ini Badan Pengawas Tenaga Nuklir atau Bapeten menemukan paparan radiasi di Perumahan Batan Indah, Tangerang Selatan, Banten.
Anggota Komisi VII DPR Rudy Mas’ud berpendapat anggapan nuklir berbahaya kurang tepat. Manfaatnya cukup potensial membawa negara ini menuju kemandirian energi. "Masyarakat jangan salah kaprah tentang nuklir," katanya dalam rapat dengar pendapat, Rabu (1/10).
Ia mencontohkan di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, sekitar 90% listriknya dari PLTN. Kegunaan nuklir juga tak sebatas pembangkit listrik. Teknologinya juga bermanfaat untuk bidang medis.
Anggota DPR Komisi VII Ratna Juwita mengatakan sebelum mulai memanfaatkan nuklir, pengembang proyek sebaiknya melakukan sosilasi ke masyarakat. “Jangan sampai menimbulkan kegaduhan. Harus disiapkan dampak sosial dan mitigasinya,” ucapnya.
Menanggapi hal itu, Kepala Perwakilan ThorCon International Pte Ltd Bob S Effendi berpendapat isu keselamatan menjadi tidak relevan untuk nuklir. Energi ini merupakan bahan bakar yang memiliki tingkat keamanan cukup tinggi.
Dia mencontohkan kecelakaan reaktor nuklir Chernobyl di Ukraina pada 1986. Negara itu ternyata masih menggunakan energi tersebut. “Artinya, kalau memang ada isu keselamatan, tentunya Ukraina tidak akan memakai nuklir," kata dia.
Bob mengatakan, perusahaan akan memanfaatkan momentum pembangunan reaktor untuk ajang edukasi. Kemudian, ThorCon akan menyiapkan tempat penyimpanan limbah nuklir di sebuah kapal unit pembangkit listriknya. "Bisa menyimpan limbah untuk total operasi sekitar 80 tahun," kata dia.
Sebagai informasi, bencana Chernobyl dianggap sebagai kecelakaan nuklir terburuk sepanjang sejarah. Ledakan salah satu reaktornya menyebabkan isotop radiokatif dalam jumlah besar tersebar ke atmosfer di seluruh kawasan Uni Soviet bagian barat. Lebih 300 ribu penduduk di sekitar PLTN terpaksa mengungsi dari kota tersebut. Kondisi ini diperburuk dengan dampak radiasi ke lingkungan dan kesehatan makhluk hidup di sekitarnya.
Penolakan Energi Nuklir dalam RUU EBT
Sebelumnya, masuknya energi nuklir dalam rancangan undang-undang energi baru terbarukan (RUU EBT) menjadi perdebatan. Peneliti Yayasan Indonesia Cerah Mahawira Singh Dillon menyebutkan sejumlah alasan mengapa memasukkan bahan bakar itu tidak tepat.
Pertama, secara geografis Indonesia terletak di kawasan Cicin Api yang aktif sehingga rawan gempa dan tsunami. “Kondisi ini sangat berisiko dan berpotensi mengganggu pembangkit listrik tenaga listrik (PLTN),” katanya dalam diskusi virtual, Rabu (23/9). Kasus kebocoran radioaktif PLTN Fukushima di Jepang merupakan dampak setelah gempa bumi dan tsunami pada 2011.
Penyimpanan limbah pembangkit listrik itu juga memerlukan lokasi yang stabil dan kedap air. Kondisinya sangat sulit untuk Indonesia. Bila limbah nuklir bocor ke dalam air tanah, dampaknya sangat berbahaya.
Kedua, masuknya nuklir dalam rancangan undang-undang EBT merupakan langkah kontraproduktif dengan asas ketahanan, keberlanjutan, kedaulatan, dan kemandirian energi. Faktanya, pasokan uranium negara ini hanya dapat mengoperasikan satu pembangkit dengan kapasitas seribu megawatt selama enam hingga tujuh tahun saja.
Kalau bersikeras menjadikan nuklir sebagai energi baru, Wira memprediksi Indonesia akan bergantung pada impor uranium dari luar negeri. Alih-alih memakai bahan bakar berisiko, lebih baik pemerintah memanfaatkan energi terbarukan, seperti surya, air, angin, biomassa, dan panas bumi.
Sumber energi tersebut melimpah dan pembangunan pembangkitnya dapat diterapkan dari skala kecil hingga besar. “Dari perkotaan hingga area terpencil,” ujar Wira.