Minim Pengawasan, Proyek Pembangkit Panas Bumi Makan Korban
- Hasil investigasi sementara Kementerian ESDM menyebut kebocoran gas di PLTP Sorik Marapi Unit II karena kelalaian pengembang.
- Aktivitas penduduk kerap terlalu dekat dengan PLTP.
- Pemerintah perlu mengawasi lebih ketat standar keselamatan kerja pembangkit listrik ini.
Sebanyak lima warga Mandailing Natal, Sumatera Utara, meninggal akibat menghirup gas beracun dari proyek pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) Sorik Marapi Unit II. Kejadian pada pekan lalu itu juga membuat puluhan warga menjadi korban.
Hasil investigasi sementara pemerintah menunjukkan ada unsur kelalaian pengembang, yaitu PT Sorik Marapi Geothermal Power. "Semua peralatan dan fasilitas berfungsi normal, tapi ada beberapa hal teknis, terutama soal safety (keamanan), yang tidak dilaksanakan sesuai prosedur," kata Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana kepada Katadata.co.id, Selasa (2/2).
Kementerian ESDM tengah memfinalisasi laporan investigasi dari kejadian tersebut. Selanjutnya, pemerintah pusat dan daerah akan berkoordinasi untuk menyelesaikan aspek sosial masyarakat. “Secara paralel, kami akan evaluasi komitmen badan usaha terhadap pelaksanaan aspek keselamatan di lapangan,” ucapnya.
Kronologis kejadian tersebut, berdasarkan keterangan Kementerian ESDM, bermula pada Senin pekan lalu sekitar pukul 12.00 WIB. Perusahaan membuka sumur dengan mengalirkan steam ke silencer untuk dibersihkan sebelum dialihkan ke PLTP.
Sekitar 30 menit setelah itu, masuk laporan seorang warga yang pingsan. Saat kejadian, korban berada di sawah yang berjarak sekitar 300 hingga 500 meter dari lokasi sumur panas bumi. Namun, seluruh alat pendeteksi gas tidak menunjukkan adanya kebocoran gas hidrogen sulfida (H2S). Sorik Merapi Geothermal Power lalu memutuskan menutup kembali sumurnya.
Direktur Panas Bumi Ida Nuryatin Finahari, yang masih menjabat saat itu, kemudian menerbitkan surat penghentian sementara seluruh kegiatan dan aktivitas perusahaan di lapangan. Termasuk di dalamnya penghentian operasi PLTP Unit I sebesar 45 megawatt (MW), kegiatan pengeboran dengan 2 unit rig, dan seluruh aktivitas pengembangan PLTP Unit II.
Sorik Marapi Geothermal Power mayoritas sahamnya, sekitar 95%, dimiliki oleh KS Orka Renewables Pte Ltd. Perusahaan yang berbasis di Singapura ini memulai proyek PLTP Sorik Marapi pada pertengahan 2016.
Jaga Jarak Aktivitas Warga dengan PLTP
Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API), Priyandaru Effendi mengatakan proyek PLTP selalu menerapkan standar keselamatan kerja dan lingkungan yang ketat, sesuai peraturan yang berlaku. Namun, musibah masih saja dapat terjadi.
Saat ini investigasi Kementerian ESDM masih berlangsung. Semua pihak, menurut dia, sebaiknya tidak berspekulasi mengenai apa yang terjadi. "Musibah ini, insya Allah, tidak akan mempengaruhi iklim investasi," ujarnya.
Dengan adanya kejadian ini, semua pengembang panas bumi diharapkan dapat mengambil pelajaran. Keselamatan kerja dan lingkungan harus tetap dilakukan secara hati-hati dan tanpa kompromi. "Seinget saya kejadian serupa pernah terjadi di PLTP Dieng," ucapnya.
Pada 30 Juni 2007, sebuah ledakan keras terjadi di salah satu pipa PLTP Dieng. Akibatnya, melansir dari Koran Tempo, 14 orang yang berada di sekitar ledakan menderita luka.
Ledakan itu terjadi di pipa brand water unit 9, yang melintasi perkebunan kentang di Desa Karang Tengah, Kecamatan Batur, Banjarnegara, Jawa Tengah. Pipa ini mengalirkan panas bumi ke pembangkit listrik.
Yang perlu menjadi perhatian ke depan, menurut Priyandaru, bagaimana menjaga jarak agar aktivitas penduduk tidak terlalu dekat dengan PLTP. Persoalan ini terjadi di semua pengembangan proyek panas bumi. “Keselamatan lingkungan kerja bukan hanya dari perusahaan tapi semua stakeholder yang terlibat,” katanya.
Saptar, seorang perwakilan warga Mandailing Natal, mengatakan sampai sekarang masyarakat sekitar masih was-was pasca kebocoran gas di PLTP Sorik Marapi Unit II. Kejadian ini tidak pernah terduga akan terjadi.
Selama ini, menurut dia, perusahaan tidak transparan. Aktivitas pengeborannya juga jauh dari standar prosedur atau SOP. “Pengeborannya kurang 100 meter dari aktivitas warga,” katanya dalam diskusi Menggugat Industri Ekstraksi Panas Bumi untuk Pembangkit Listrik di Indonesia, kemarin.
Perusahaan juga hanya membatasi lokasi pengeboran dengan pagar seng yang berbatasan langsung dengan lahan pertanian warga. Sorik Marapi Geothermal Power tak pernah melakukan sosialisasi terkait bahaya pengeboran terebut. “Kiri, kanan, muka, belakang lokasi pengeboran (adalah) tempat masyarakat beraktivitas. Ada sawah, ladang, bahkan pemukiman,” ucap Saptar.
Risiko dan Bahaya PLTP
Kepala Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Melky Nahar berpendapat kejadian kebocoran gas pertama kali terjadi di PLTP Sorik Marapi. Namun bukan yang pertama di Indonesia. Sebelumnya, kejadian serupa pernah terjadi.
Misalnya, ledakan dan semburan gas di proyek PLTP Ijen yang juga memakan korban. Lalu, semburan cairan panas bumi di proyek Rimbo Panti, yang digelontorkan langsung ke wilayah suaka alam di Sumatera Barat itu.
Lima tahun lalu, semburan gas dari sumur bor Geo Dipa di kavling ekstraksi panas bumi Dieng juga telah berakibat langsung pada kehidupan dan pertanian warga. Pengerjaan proyek terus berlansung, sementara sumur-sumur warga tercemar.
Di Flores, tak terkendalinya semburan gas di proyek ekstraksi panas bumi Mataloko memaksa proyek terhenti bertahun-tahun. "Seng rumah warga berkarat, tanaman berupa kopi, jagung tak lagi produktif. Berbuah tapi tak berisi," ucapnya.
Untuk itu, ada tiga rekomendasi dari Jatam. Pertama, pemerintah menghentikan dulu semua proyek investasi panas bumi di Indonesia. Dimulai dari proyek IPP PLTP Sorik Marapi, beserta langkah hukumnya yang harus tuntas.
Kedua, evaluasi kontrak-kontrak proyek panas bumi yang sudah dan sedang berjalan. "Ada soal perpipaan dan perizinan yang sedang tahap perencanaan di Kementerian ESDM," ucapnya.
Ketiga, evaluasi modus-modus pengaliran kemudahan, subsidi, dan penjaminan investasi panas bumi yang menjadi kewenangan dan tanggung-jawab politik Kementerian Keuangan, Kementerian ESDM, dan badan-badan yang mengkoordinasikannya.
Regional Climate and Energy Campaign Coordinator Greenpeace Indonesia Tata Mustasya berpendapat kebocoran gas itu menunjukkan risiko PLTP. Sumber panas bumi di Indonesia banyak di area konservasi dan dekat dengan tempat tinggal dan penghidupan komunitas lokal. “Nah, ini menunjukkan risiko yang belum dikelola dengan baik,” katanya.
Pengamat energi Fahmi Radhi mengatakan kejadian PLTP Sorik Marapi Unit II dampaknya sangat merugikan investasi. Hambatan terbesar saat ini dapat berasal dari penolakan masyarakat.
Karena itu, pemerintah perlu mengawasi dengan ketat standar keselamatan kerja pembangkit listrik itu. "Saya khawatir investor semakin tidak tertarik investasi di panas bumi," ucapnya.
PLTP Sorik Marapi dengan kapasitas total sebesar 240 megawatt merupakan salah satu proyek strategis nasional. Pembangkit ini menjadi bagian Program 35 Ribu Megawatt dan Fast Track Program 10 Ribu Megawatt Tahap II..