Bergantung pada Pembangkit Batu Bara, RI Perlu Kejar Transisi Energi
Indonesia perlu mengejar ketertinggalan transisi dari fosil ke energi baru terbarukan (EBT). Analis Senior Kebijakan Ketenagalistrikan Ember Muyi Yang mengatakan, dengan laju kebutuhan listrik yang tinggi, negara ini perlu menggenjot energi bersih untuk mencegah agar emisi karbon tidak semakin memburuk.
Ketergantungan negara ini pada batu bara sangat bertentangan dengan tren global yang mengejar kelistrikan rendah karbon. "Indonesia harus segera mengambil langkah untuk mengakhiri rencana pengembangan kapasitas batu bara yang ada,” kata Yang dalam keterangan tertulis, Senin (29/3).
Dalam laporan berjudul Global Electricity Review 2021 menyebutkan ada lima masalah ketenagalistrikan di negara ini. Pertama, Indonesia terlalu bergantung pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batu bara.
Negara ini bahkan satu-satunya dalam kelompok G20 yang masih dalam posisi tersebut. Porsi PLTU naik dari 53% pada 2015 menjadi 60% pada 2019. Sedangan negara lainnya, seperti Tiongkok dan India, justru menurunkan pembangkit tinggi emisi karbon tersebut.
Kedua, pada 2020 secara agregat sebenarnya tidak ada perubahan dalam pemakaian PLTU. Pada September 2020, PLN memperkirakan konsumsi batu bara pembangkitnya hanya turun 1,4% dibandingkan 2019.
Ketiga, pembangkit tenaga angin dan surya nyaris tidak berkontribusi pada sistem kelistrikan RI pada 2019. Angkanya hanya 0,2% dalam kapasitas pembangkit nasional. Padahal secara global pemakaiannya sudah nyaris 10%.
Negara sesama anggota G20 sudah menghasilkan listrik dengan jumlah besar dari tenaga angin dan surya. India mencapai 8,9%, Tiongkok 9,5%, Jepang 10,1%, Brasil 10,6%, Amerika Serikat 11,6%, dan Turki 12%.
Keempat, pertumbuhan pesat kebutuhan listrik Indonesia belum diimbangi oleh pengembangan listrik bersih. Rata-rata pertumbuhannya sebesar 7% per tahun, dari 221 tera-Watt hour (TWh) pada 2015 menjadi 283 TWh pada 2019. Penambahan PLTU-nya mencapai 51 TWh, sisanya listrik energi bersih.
Laporan itu menyebut kebutuhan listrik RI akan terus naik pesat. Namun, secara per kapita, angkanya masih terendah di antara negara-negara G-20 dan jauh lebih rendah dari rata-rata dunia.
Kelima, otoritas sektor ketenagalistrikan Indonesia harus semakin memperbaiki kualitas data industri. Data yang andal dan tepat waktu sangat penting untuk mengetahui kemajuan transisi tenaga listrik rendah karbon.
Kondisi Kelistrikan Global
Secara global, laporan itu menyoroti rekor penurunan produksi dari PLTU batu bara pada tahun lalu. Di saat yang sama, pembangkit tenaga angin dan matahari menunjukkan pertumbuhan.
Namun, sejak 2015 peningkatan permintaan listrik telah melampaui tingkat pertumbuhan listrik dari energi terbarukan sehingga pemakaian bahan bakar fosil pun ikut terkerek. Dampaknya, emisi sektor tenaga listrik global masih lebih tinggi pada 2020 dibandingkan 2015, saat Perjanjian Paris ditandatangani.
Tiongkok merupakan satu-satunya negara G20 yang mengalami peningkatan besar dalam PLTU batu bara pada 2020. Sedangkan negara batu bara teratas lainnya, termasuk India, mengalami penurunan.
Laporan tahunan ini menganalisis data ketenagalistrikan dari setiap negara di dunia untuk memberikan pandangan yang akurat mengenai transisi ketenagalistrikan pada 2020. Laporan ini menggabungkan data pembangkit listrik yang menggunakan bahan bakar berdasarkan negara sejak 2000.
Terdapat 68 negara penghasil 90% listrik dunia yang memiliki data tahunan lengkap hingga 2020 dan menjadi dasar perkiraan perubahan produksi listrik di seluruh dunia. Negara lainnya memiliki data lengkap hingga 2019.
Negara-negara G20, yang merupakan penghasil 84% dari listrik dunia, memiliki analisis mendalam untuk negaranya masing-masing. Seluruh data tersebut dapat dilihat dan diunduh secara gratis dari situs Ember.