Tiga Proyek PLTS Besar Jadi Andalan Pemerintah Kejar Bauran EBT 23%
Kementerian ESDM memiliki target untuk menambah kapasitas terpasang pembangkit listrik energi baru terbarukan atau EBT sebesar 38 gigawatt (GW) hingga 2035. Guna merealisasikan target tersebut, pengembangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) akan menjadi andalan.
Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan bahwa pemilihan PLTS sebagai prioritas utama dalam pengembangan pembangkit EBT secara masif karena harga listrik dari PLTS yang semakin murah dan bersaing dengan pembangkit lainnya.
"Untuk mencapai target tersebut pemerintah memprioritaskan pengembangan pembangkit surya karena biayanya makin kompetitif dan lebih murah dan waktu pelaksanaannya lebih cepat, kita memiliki sumber yang banyak," ujarnya dalam diskusi secara virtual, Selasa (10/8).
Pemerintah memiliki tiga program prioritas yang sedang berjalan untuk mendorong pengembangan PLTS, yakni pengembangan PLTS atap dengan kapasitas total 3,6 GW, pengembangan PLTS skala besar berkapasitas 5,34 GW, dan yang terbesar, proyek PLTS terapung di 375 lokasi dengan total kapasitas 28,20 GW.
"Terus terang kita tertinggal dengan Vietnam. Karena Vietnam sudah memanfaatkan PLTS atap sampai 17 GW kita masih ratusan MW," ujarnya. Simak potensi kapasitas PLTS terapung di Indonesia pada databoks berikut:
Meski demikian, untuk menumbuhkan optimisme ke depan, ada beberapa proyek PLTS atap yang sukses diimplementasikan di Indonesia. Salah satunya yakni Coca Cola Amatil Indonesia yang telah membangun panel surya di area pabriknya dengan kapasitas 7,2 megawatt (MW), atau yang terbesar di ASEAN.
Kemudian, Danone yang juga baru saja menyelesaikan pembangunan PLTS atap berkapasitas 3 MW di Pabrik Danone-Aqua, Klaten, Jawa Tengah. "Tentu ini harus bisa diikuti oleh industri lainnya. Agar industri bisa terdukung energi bersih dan bisa menghasilkan produk hijau," ujarnya.
Adapun untuk pengembangan EBT skala besar dilakukan melalui program Renewable Energy Based Industrial Development (REBID) . Konsep ini merupakan bentuk keseriusan pemerintah mempercepat pemanfaatan EBT.
Program REBID ini dicanangkan terintegrasi antara sisi pasokan dan permintaan untuk menciptakan pertumbuhan industri. Seperti pemanfaatan PLTS skala besar yang terintegrasi dengan kawasan industri, sehingga dapat menciptakan sinergi antara pengembang EBT dan wilayah ekonomi.
"Kedepannya industri ini mensyaratkan hasil produk industrinya yang memanfaatkan energi bersih. Untuk ini kita harus respon sehingga produk kita bisa bersaing di pasar internasional," ujar Arifin.
Direktur World Resources Institute (WRI) Indonesia Tjokorda Nirarta Samadhi mengatakan berdasarkan data terakhir dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, emisi dari sektor energi pada 2030 akan dua setengah kali lebih besar daripada emisi di sektor kehutanan.
Sehingga fokus terhadap sektor energi menjadi suatu keharusan. Mengingat pertumbuhan geliat dari sektor komersial dan industri semakin pesat. Sementara 40% lebih konsumsi listrik di Indonesia berasal dari sektor tersebut.
"Di situlah mengapa banyak perusahaan sebagian besar komitmen mengganti dengan energi terbarukan atau banyak secara keseluruhan," ujarnya.
Tren menuju komitmen penggunaan energi terbarukan secara global memang semakin pesat. Misalnya seperti adanya kelompok RE 100 yang merupakan kelompok perusahaan yang berkomitmen untuk menggunakan 100% energi terbarukan untuk kegiatan operasionalnya.
"Jadi tren permintaan renewable energi di sektor ini makin lama makin besar. Ini memberikan kesempatan bagi pemerintah untuk mengakselerasi transisi EBT sehingga indonesia dapat memenuhi target. Tentu masih banyak yang bisa dilakukan untuk mendorong EBT," kata dia.