Permen PLTS Atap Terbit, ESDM Sebut Implementasinya Masih Bermasalah
Peraturan Menteri (Permen) ESDM yang mengatur pemanfaatan PLTS atap di Indonesia akhirnya terbit. Meski demikian, masih terdapat ketidaksesuaian dalam implementasinya.
Aturan ini sendiri diatur dalam Permen ESDM No. 26 Tahun 2021 Tentang Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap yang Terhubung Pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum. Beleid ini ditetapkan pada 13 Agustus 2021 dan diundangkan pada 20 Agustus 2021.
Direktur Jenderal EBTKE Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan semua proses dalam penyusunan permen ini telah diikuti sesuai prosedur. Namun di dalam tahapan berikutnya, masih ada beberapa tahapan yang harus dilalui.
"Di dalam tahapannya pada saat kami proses permen ini ada perpres yang mengharuskan izin ke Presiden. Untuk permen PLTS atap ini itu ada dispute," kata Dadan dalam diskusi secara virtual, Senin (20/9).
Adapun saat ini Kementerian ESDM terus menjalin komunikasi dengan Sekretariat Kabinet Republik Indonesia untuk menuntaskan persoalan tersebut. Dadan mengklaim proses yang dilakukan oleh Kementerian ESDM telah sesuai. "Proses sudah formal, sekarang ada pertanyaan (dari) Setkab kami selesaikan," katanya.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai jika suatu aturan di Indonesia telah dirilis, maka beleid tersebut seharusnya sudah berlaku. Namun ia menyadari banyak pro-kontra mengenai penerbitan aturan ini, apalagi disampaikan juga bahwa terdapat perpres mengenai izin presiden.
"Kami apresiasi langkah Kementerian ESDM yang tidak gegabah. Seharusnya tidak ada masalah karena sudah diterbitkan sebagai berita negara. Karena mungkin ada sifatnya prosedural saja kan sudah dirapatkan Setneg tidak ada permasalahan," katanya.
Pemerintah menyebut revisi aturan mengenai pemanfaatan PLTS atap guna menjawab kebutuhan industri akan pasokan listrik dari energi baru terbarukan (EBT). Pasalnya, banyak perusahaan global yang mulai memperhatikan penggunaan listrik bersih untuk operasionalnya.
Permen ESDM tentang Pemanfaatan PLTS Atap dimaksudkan untuk memperbaiki pelaksanaan Permen ESDM Nomor 49 Tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap oleh Konsumen PT PLN. Sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 16 Tahun 2019.
Beberapa poin yang menjadi perhatian dalam beleid baru ini diantaranya, perhitungan ekspor dan impor energi listrik pengguna PLTS atap, pada pasal 6, dihitung berdasarkan nilai kWh Ekspor yang tercatat pada Meter kWh Ekspor-Impor dikali 100%. Di aturan sebelumnya ketentuan ini hanya sebesar 65%.
Kemudian perhitungan selisih energi listrik ekspor impor pengguna PLTS atap dilakukan setiap bulan berdasarkan selisih antara nilai kWh impor dengan nilai kWh ekspor.
Jika energi listrik yang diekspor lebih besar daripada impor pada bulan berjalan, selisihnya akan diakumulasikan dan diperhitungkan sebagai pengurang tagihan listrik bulan berikutnya.
Perhitungan selisih lebih sebagai pengurang tagihan listrik bulan berikutnya ini berlaku selama enam bulan dan dilaksanakan pada dua periode. Periode Januari sampai dengan Juni dan dinihilkan pada bulan Juli tahun berjalan. Periode Juli sampai dengan Desember dan dinihilkan pada bulan Januari tahun berikutnya.
Dalam hal pemasangan Sistem PLTS Atap dilakukan setelah bulan Januari, selisih lebih untuk pertama kali dihitung sejak sistem PLTS atap mulai beroperasi sampai bulan Juni tahun berjalan. Kemudian, jika PLTS atap dipasang setelah Juli, selisih lebih untuk pertama kali dihitung sejak PLTS atap beroperasi sampai Desember tahun berjalan.
Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan berdasarkan masukan dari beberapa pemangku kepentingan, ketentuan ekspor PLTS atap selama ini masih kurang menarik. Padahal ada kecenderungan dari konsumen untuk mengkonsumsi produk hijau yang harus segera dipenuhi industri.
"Jadi banyak industri yang sudah mengajukan dan melaksanakan pemasangan PLTS atap dan ini harus kami respon karena ini juga terkait persyaratan green product yang kedepannya ini akan diterapkan di dunia internasional," ujar Arifin dalam Rapat Kerja bersama Komisi VII DPR, beberapa waktu lalu, Kamis (26/8).
Menurut dia kebijakan memutuskan nilai energi listrik yang diekspor oleh pelanggan PLTS Atap menjadi sebesar 100% nilai kWh Ekspor yang tercatat pada Meter kWh Ekspor-Impor dari semula hanya 65%, merupakan pemberian insentif yang lebih baik kepada masyarakat yang memasang PLTS atap.
Hal ini sejalan dengan kebijakan Pemerintah untuk meningkatkan energi terbarukan dan penurunan gas rumah kaca sebagaimana komitmen Indonesia pada Paris Agreement.
Pemerintah menargetkan pembangunan PLTS atap mencapai 2.145 megawatt (MW) sampai dengan 2030. Dari jumlah tersebut, pembangunan PLTS atap akan didominasi untuk bangunan dan fasilitas BUMN, diikuti kelompok rumah tangga. Selengkapnya simak databoks berikut: