Pengamat: Transisi EBT RI Terhambat Besarnya Subsidi Energi Fosil

Image title
12 November 2021, 14:08
subsidi energi, ebt, emisi karbon, energi baru terbarukan
123RF.com/sergeiminsk
Ilustrasi energi fosil, minyak dan gas.

Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai subsidi energi fosil kontra produktif terhadap upaya transisi menuju energi baru terbarukan (EBT) untuk menurunkan emisi karbon dan mencapai target net zero emission atau nol emisi karbon pada pertengahan abad ini.

Di awal pandemi, negara G20 mengucurkan sedikitnya US$ 318,84 miliar subsidi energi fosil. Sedangkan Indonesia, menurut catatan Climate Transparency 2021, telah menggelontorkan US$ 8,6 miliar subsidi bahan bakar fosil pada 2019. Adapun 21,96% di antaranya untuk minyak bumi dan 38,48% untuk listrik.

Indonesia sempat mereformasi subsidi BBM dan listrik pada 2014-2017, namun masih memberikan alokasi subsidi energi fosil yang cukup besar. Subsidi energi naik 27% pada kurun waktu 2017-2019.

Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa mengatakan pemberian subsidi energi fosil tidak saja menghambat rencana transisi EBT dan upaya memangkas emisi gas rumah kaca dan dekarbonisasi.

"Tapi juga menghasilkan inefisiensi penggunaan energi, dan menciptakan pemborosan akibat subsidi yang tidak tepat sasaran. Ini membuat EBT sukar bersaing,” ujar Fabby dalam keterangan tertulis, Jumat (12/11).

Menurut Fabby penghentian subsidi bahan bakar fosil akan menciptakan lapangan tanding usaha yang rata bagi EBT. Selain itu, dana subsidi energi fosil akan jauh lebih bermanfaat bila dialihkan pada masyarakat yang paling rentan.

Terutama untuk pembangunan pendidikan dan fasilitas kesehatan, pengembangan energi terbarukan serta mengakomodasi dampak transisi energi bagi para pekerja di industri energi fosil yang terdampak.

"Reformasi subsidi energi pada sisi konsumsi tidak boleh dilakukan secara serampangan sehingga membuat orang miskin tidak mendapatkan akses energi yang berkualitas dengan harga yang terjangkau," kata Fabby.

Dia berpendapat penetapan kebijakan harga batu bara Domestic Market Obligation (DMO) dan gas untuk PLN merupakan salah satu bentuk subsidi dan telah membuat harga listrik dari PLTU dan PLTG tidak mencerminkan biaya sebenarnya.

Kebijakan ini juga membuat PLN akan memprioritaskan penggunaan PLTU ketimbang energi terbarukan, yang lebih murah. Oleh karena itu pemerintah harus meninjau ulang kebijakan patokan harga DMO untuk pembangkit listrik dan membuat rencana untuk mengakhiri kebijakan ini.

"Ini selaras dengan keputusan pemerintah yang tidak akan memberikan ijin untuk pembangunan PLTU baru di luar program 35 GW dan rencana pensiun dini PLTU sebelum 2030,” kata Fabby.

Analisis Climate Transparency 2021 menunjukkan agar tercapai target Persetujuan Paris, semua wilayah di dunia harus menghentikan PLTU batu bara secara bertahap antara tahun 2030 dan 2040.

Pada 2040, pangsa energi terbarukan dalam pembangkit listrik harus ditingkatkan menjadi setidaknya 75%, dan pangsa batu bara tanpa teknologi CCS/CCUS harus dihapuskan.

Sedangkan dalam KEN, Indonesia berjanji untuk mengurangi batu bara hingga 30% pada 2025 dan 25% pada tahun 2050. Sementara, agar selaras dengan Persetujuan Paris, pembangkitan listrik dari batu bara harus mencapai puncaknya pada 2020 dan menghentikan batu bara sepenuhnya pada 2037.

Berdasarkan perhitungan IESR dalam kajian Deep Decarbonization of Indonesia’s Energy System, biaya untuk mentransformasi sistem energi Indonesia untuk meraih bebas emisi pada 2050 mencapai US$ 25 miliar per tahun hingga 2030. Hal ini akan meningkat tajam setelahnya menjadi US$ 60 triliun per tahun.

Manager Program Ekonomi Hijau IESR, Lisa Wijayani menilai subsidi energi fosil yang memperbesar dampak buruk dari emisi GRK akan menambah beban negara. Hal ini lantaran adanya kerugian ekonomi dan pengeluaran keuangan negara untuk mengatasi bencana akibat perubahan iklim.

"Subsidi tersebut dapat dialihkan untuk membantu percepatan transisi energi menggunakan energi terbarukan sehingga dapat mencapai target bauran energi terbarukan sebesar 23% di 2025," kata Lisa.

Pada Deklarasi G20, Oktober lalu di Roma, negara G20 telah sepakat untuk meningkatkan komitmennya untuk menekan subsidi bahan bakar fosil yang tidak efisien. IESR memandang Indonesia dapat menggunakan peluang kepemimpinannya di G20 pada 2022 untuk mendorong aksi nyata keluar dari beban pembiayaan energi fosil.

Menurut Lisa komitmen negara G7 untuk memberikan pendanaan iklim sejumlah US$ 100 miliar sampai 2025 masih belum cukup. Oleh karena itu negara G20 harus ikut berkontribusi, salah satunya dengan cara melakukan reformasi keuangan ke arah energi terbarukan yang mendukung ekonomi hijau.

"Indonesia sebagai pemimpin negara G20 di 2022 dapat mendorong negara anggota G20 untuk melakukan reformasi keuangan," ujar Lisa.

Reporter: Verda Nano Setiawan

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...