Gaikindo Dorong Pemanfaatan Bioetanol untuk Turunkan Emisi Karbon
Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) mendorong agar pengembangan bioetanol dalam bauran energi bersih dapat digenjot sebagai alternatif untuk mengurangi emisi karbon di sektor transportasi selain biodiesel.
Sekretaris Umum Gaikindo, Kukuh Kumara menjelaskan pengembangan biofuel atau bahan bakar nabati (BBN) di Indonesia selama ini hanya berfokus pada biodiesel. Padahal sejak 2006, Indonesia sudah mulai mengembangkan bioetanol.
"Sudah kita perkenalkan bioetanol namun belum banyak berkembang," kata dia dalam Dialog Webinar B40 Majalah Sawit Indonesia, Selasa (30/11).
Padahal menurut Kukuh RI telah mampu memproduksi mesin yang dapat menggunakan bahan bakar etanol sebagai campuran bahan bakar bensin. Karena itu, pihaknya berharap bahwa bioetanol sebagai bagian dari bahan bakar nabati dapat dikembangkan dan digunakan di Indonesia.
Mengingat sebagian besar kendaraan di Indonesia didominasi oleh kendaraan yang menggunakan bahan bakar bensin. Sementara kendaraan dengan jenis bahan bakar diesel cenderung relatif sedikit. "Sehingga kalau bisa kita kembangkan BBN yang dapat digunakan gasoline ini dapat bermanfaat bagi kita semua," ujarnya.
Setidaknya, dari jumlah kendaraan yang diproduksi di Indonesia saat ini, sekitar 75% produksinya menggunakan mesin yang berbahan bakar bensin. Sedangkan 24% berbahan bakar diesel dan sisanya 1% jenis kendaraan dengan menggunakan bahan bakar yang berasal dari gas yakni CNG dan kendaraan listrik.
Engineering Manager, TFA Project Group, Australia, Keith Sharp sebelumnya menyadari tren sektor transportasi saat ini mulai mengarah pada penggunaan ke kendaraan listrik yang memproduksi zero gas emisi karbon.
Namun ia menilai tren tersebut sulit terealisasi setidaknya hingga 10 tahun, bahkan 20 tahun ke depan, karena kendala pada keekonomian kendaraan listrik. Di samping itu, suplai listriknya pun masih didominasi dari energi fosil seperti batu bara dan gas alam. Sehingga tak ideal dari perspektif perubahan iklim.
"Sebelum menuju ke tren EV (kendaraan listrik) dalam 10 hingga 20 tahun ke depan bioetanol dapat menjadi alternatif dekarbonisasi di sektor transportasi," ujarnya dalam Webinar secara virtual “Etanol: Dekarbonisasi Bahan Bakar Kendaraan dalam Bioekonomi”, Rabu (25/8).
Beberapa negara seperti Amerika Serikat (AS) dan Australia merupakan negara yang sukses dalam menerapkan etanol sebagai campuran bahan bakar kendaraan.
Sharp menuturkan, di Australia implementasi program bioetanol pada 6 pabrik bioetanol berkapasitas masing-masing 100 juta liter, memiliki dampak yang sangat positif. Misalnya gas emisi berkurang hingga 2,6 juta ton per tahun dan membuka hingga 4.000 lapangan pekerjaan.
Kemudian meningkatkan modal investasi daerah hingga US$ 720 juta (sekitar Rp 10,4 triliun) dan pendapatan tahunan sebesar US$ 500 juta (Rp 7,2 triliun), serta meningkatkan kapasitas produksi baru etanol negeri Kanguru yang diproyeksikan sekitar 550 juta liter per tahunnya.
Sedangkan di AS, berdasarkan studi Environmental Health & Engineering, Inc pada 2020, program E10 (etanol 10%) dalam campuran bensin dapat meningkatkan nilai oktan hingga 3-4 tingkatan. Program E10 juga menurunkan 46% gas emisi karbon dibandingkan dengan bensin murni, dari hulu ke hilir.
Berdasarkan laporan Climate Transparency Report 2020 tentang perkembangan upaya pengurangan emisi di negara G20 berdasarkan target Nationally Determined Contribution (NDC). Transportasi menyumbang 27% emisi sektor energi. Simak databoks berikut: