Survei KIC: 50% Masyarakat Rela Bayar Lebih Mahal Energi Terbarukan
Indonesia terus menggenjot transisi energi demi menurunkan emisi karbon. Di tengah upaya tersebut terjadi perubahan gaya hidup di masyarakat yang mulai beralih menggunakan energi baru terbarukan (EBT) meskipun harganya saat ini masih relatif tinggi.
Menurut hasil survei persepsi masyarakat terhadap energi terbarukan yang dilakukan Katadata Insight Center (KIC) terhadap 4.821 responden, 50,3% atau 2.424 responden menyatakan bersedia membayar lebih mahal untuk menggunakan energi terbarukan.
“Temuan sebagian besar masyarakat bersedia membayar lebih mahal untuk menggunakan sumber energi terbarukan karena ingin berkontribusi mendukung perkembangannya. Ini menunjukkan adanya dukungan untuk transisi energi,” kata Head of Katadata Insight Center Adek Media Roza dalam Katadata IDE 2022, Rabu (6/4).
Dari jumlah responden yang bersedia membayar lebih mahal, 55,9% di antaranya beralasan ingin berkontribusi agar sumber energi terbarukan terus dikembangkan, 50,3% beralasan karena energi terbarukan tidak menimbulkan kerusakan lingkungan.
Kemudian 43% responden bersedia membayar lebih mahal energi terbarukan karena sumber energi ini lebih berkualitas, 22% karena merasa bangga karena membeli produk yang lebih premium.
Meski demikian survei juga menunjukkan bahwa ada 2.397 responden yang tidak bersedia membayar lebih mahal untuk sumber energi terbarukan. Dari jumlah tersebut 55,4% menilai produk ramah lingkungan bukan alasan untuk harga lebih mahal.
Kemudian 22,6% mengaku lebih peduli dengan harga dibanding kualitas, 17,4% merasa tidak ada perbedaan energi terbarukan dengan sumber energi biasa, dan 17,2% tidak percaya klaim yang diserukan seperti aman, ramah lingkungan, hemat, dan sebagainya.
Kondisi ini dirasakan oleh PLN. Executive Vice President (EVP) PLN Edwin Nugraha mengatakan bahwa transisi energi memang sudah terlihat di antara pelanggannya yang mulai menggunakan energi hijau, terutama pelanggan yang memiliki kemampuan keuangan yang cukup.
Salah satunya yaitu dengan memasang pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap di rumah. Sebab biaya atau investasi yang harus dibayarkan untuk instalasinya masih relatif mahal.
“Ada apa yang kami sebut sebagai green lifestyle di mana pelanggan-pelanggan kami yang mempunyai keuangan yang cukup merasa ingin memakai energi hijau untuk menggantikan pemakaian energi mereka yang masih 65% diproduksi PLN dengan fosil,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa menurut data PLN, total kapasitas penggunaan energi hijau pada pelanggan rumah tangga semakin besar yakni 3-10 megawatt (MW). Namun menurut Edwin ini kondisi di atas permukaan sebab keinginan masyarakat untuk beralih ke energi bersih semakin besar.
Bahkan kesadaran untuk memakai energi terbarukan lebih besar di kalangan pelaku industri dengan kapasitas pembangkit energi terbarukan mencapai 30 MW, 50 MW, bahkan 150 MW yang masuk ke sistem PLN karena kesadaran dari industri dan kelebihan ketika bisa memproduksi barang industrinya dengan energi hijau.
“Kalau kami lihat pelanggan-pelanggan PLTS atap masih menilai ini sebagai gaya hidup, jadi masih mahal dan belum terpasang di banyak tempat, hanya pelanggan khusus, dan pemakaiannya mayoritas di rumah yang mereka mau memakai energi bersih,” kata Edwin.
Dia pun menjelaskan mengapa teknologi ini masih mahal. Pertama energi surya yang intermiten atau tidak tersedia sepanjang hari, maka PLN harus mem-backup sebesar kapasitas yang terpasang untuk berjaga-jaga kalau sistem tersebut off.
“Ini membutuhkan biaya. Makanya ini lebih ke gaya hidup. Tapi kami membuka diri untuk bisa menerima keinginan pelanggan tersebut,” kata dia.
Cara lain untuk mengatasi intermitensi pembangkit energi terbarukan seperti PLTS adalah baterai. Namun harganya saat ini masih 3-4 kali lebih mahal dibandingkan harga PLTU yang saat ini mendominasi pembangkitan listrik di Indonesia.
“Tentunya akan membebani masyarakat untuk bisa pakai itu sekarang. Kita berharap ada teknologi yang bisa kita terapkan di mana harga baterai itu dibutuhkan banyak orang dan murah,” tutur Edwin.