Menimbang Urgensi PLTN di Tengah Upaya Transisi demi Ketahanan Energi
Pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) di Indonesia dinilai penting sebagai salah satu sumber energi alternatif menuju net zero emission 2060. Kendati demikian, operasional PLTN disebut punya resiko tinggi, terutama terkait pengolahan limbah radioaktif.
Direktur Sumber Daya Energi, Mineral, dan Pertambangan Kementerian PPN atau Bappenas, Nizhar Marizi, menyampaikan bahwa pembangunan PLTN memiliki beberapa kelebihan jika dibandingkan dengan pembangunan pembangkit listrik lainnya.
Kelebihan tersebut yaitu hanya membutuhkan area yang kecil, pembangunannya yang fleksibel karena dapat dibangun dalam skala kecil maupun skala besar, dan memiliki biaya operasional yang rendah.
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005 sampai 2025 telah membuka kesempatan pengembangan energi nuklir di Indonesia sebagai energi alternatif karena adanya isu ketahanan energi di Indonesia, dampak buruk dari energi fosil, serta cadangan minyak dan gas yang menurun.
“Penggunaan dan pembangunan energi nuklir sebagai pembangkit akan mulai beroperasi tahun 2035, dan operasi PLTN skala besar dan komersil dicanangkan tahun 2040-2045,” kata Nizhar dalam diskusi bertajuk Pro-Kontra Penerapan Energi Nuklir Sebagai Sumber Energi yang Andal dan Bersih dikutip Jumat (17/3).
Namun, dalam pembangunan PLTN terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan, seperti industri pendukung, pengolahan limbah nuklir, penambangan uranium, kualitas sumber daya manusia hingga survey kelayakan.
Pengolahan limbah nuklir yang juga menjadi salah satu fokus masalah implementasi pembangkit nuklir. Limbah energi nuklir terbagi menjadi tiga jenis, yakni limbah nuklir dengan aktivitas tinggi, menengah, dan rendah, dimana risiko yang paling berbahaya adalah berasal dari aktivitas tinggi yang berasal dari bahan bakar bekas.
Dosen Departemen Teknik Nuklir dan Teknik Fisika, Universitas Gadjah Mada, Yudiutomo Imardjoko, pembangunan PLTN harus memiliki tingkat keamanan yang ekstra tinggi.
Hal ini dapat dilakukan dengan teknologi, salah satunya adalah Artificial Intelligence (AI) yang dapat mengurangi kontrol dari manusia dan mengatasi bencana yang kemungkinan terjadi.
"Sebenarnya, terdapat sebuah teknologi yang dapat dikembangkan dari limbah nuklir dan dimanfaatkan untuk bidang kesehatan, pertanian, industri. Namun, teknologi ini masih memiliki biaya yang sangat tinggi," kata Yudiutomo.
Pengembangan PLTN di Indonesia telah memiliki rencana pembangunan dan pengolahan limbah yang aman, mulai dari sistem reaktor nuklir, hingga penyimpanan limbah nuklir. Permasalahan yang tersisa adalah masalah dari aspek politik dan sosial.
Ditinjau dari segi perundang-undangan dan perizinan, pembangunan PLTN membutuhkan proses yang panjang karena dipengaruhi oleh aspek politik dan sosial.
Berdasarkan survei yang diadakan oleh Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), tingkat penerimaan energi nuklir di Indonesia mencapai 86%. Nizhar mengatakan diperlukan sosialisasi dan edukasi untuk meningkatkan tingkat penerimaan energi nuklir di Indonesia.
Menurutnya, pengembangan teknologi harus terus dilakukan untuk meningkatkan keamanan penggunaan energi nuklir di Indonesia, mulai dari keamanan sistem pendinginan, reaktor nuklir, serta sistem penyimpanan dan pengolahan limbah nuklir yang lebih baik.
"Pengembangan ini dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat Indonesia untuk penggunaan energi nuklir di Indonesia," ujar Nizhar.