Korsel Berminat Jadi Mitra Indonesia Kembangkan Pembangkit Nuklir
Korea Selatan atau Korsel mengajukan diri untuk bergabung di dalam proyek kerja sama pengembangan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) berteknologi Small Modular Reaktor (SMR) berkapasitas 77 megawatt di Kalimantan Barat.
Komitmen tersebut ditujukan dengan mengirim delegasi Wakil Menteri Perdagangan, Industri dan Energi Korsel, Jang Young Jin untuk menghadap Menteri ESDM Arifin Tasrif di Kantor Kementerian ESDM pada Senin (15/5) kemarin.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana, mengatakan bahwa proses kerja sama pengembangan nuklir yang melibatkan empat negara, yakni Amerika Serikat, Jepang, Indonesia, dan Korsel, ini masih dalam proses pengembangan.
Rencana kerja kemitraan ini sebelumnya telah ditandai dengan penandatanganan Memorandum of Agreement (MoA) oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dan Duta Besar Amerika Serikat (AS) untuk Indonesia Sung Y. Kim.
Seremoni tersebut juga melibatkan Wakil Asisten Utama Menlu AS Ann Ganzer, dan Badan Perdagangan dan Pembangunan AS atau USTDA pada 18 Maret lalu. Di bawah perjanjian ini, USTDA telah memberikan hibah senilai US$ 1 juta kepada PLN Indonesia Power sebagai pendanaan untuk penilaian kelayakan teknis.
PLN Indonesia Power selanjutnya menggandeng perusanaan perancang reaktor mudolar nuklir mini asal AS, NuScale Power, untuk melakukan pendampingan dalam kemitraan dan JGC Corporation di Jepang.
"Indonesia telah menjalin kerja sama ini dengan Jepang dan AS, Korea Selatan juga ternyata bergabung melalui kemitraan dengan Jepang, untuk pengembangan teknologi SMR ini. Jadi Indonesia membuka kerjasama dengan banyak pihak," kata Dadan lewat pesan singkat pada Selasa (16/5).
Kendati sudah membentuk aliansi kerja sama, PLTN skala kecil itu belum dapat direalisasikan dalam waktu dekat. Alasannya, Indonesia harus lebih dulu menunggu pembangunan dan operasional PLTN SMR di AS dan Rumania pada 2029.
"Terkait pembangunan di Indonesia, masih harus menunggu PLTN ini dibangun dan beroperasi secara komersial di negara lain. Jadi dari sisi waktu pembangunan untuk Indonesia, ya setelah 2030," ujar Dadan.
Menggunakan Dana JETP
Proyek pendanaan PLTN merupakan satu diantara beberapa proyek yang bakal memanfaatkan dana transisi energi Just Energy Transition Partnership atau JETP.
Pendanaan senilai US$ 20 miliar atau sekira Rp 310 triliun tersebut rencananya akan digunakan untuk salah satunya membangun fasilitas pembangkit listrik energi terbarukan hingga studi pengadaan pembangkit tenaga nuklir, khususnya pada small modular reaktor.
"Kapasitas PLTN-nya relatif kecil, satu modul itu 77 MW, sehingga lebih fleksible pengembangannya di berbagai wilayah tanah air," kata Dadan.
Indonesia dinilai menjadi salah satu negara dengan sumber daya nuklir melimpah. Menurut catatan Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) pada 2019, Indonesia memiliki total sumber daya uranium 81.090 ton dan thorium 140.411 ton.
Bahan baku nuklir tersebut tersebar di tiga wilayah, yakni Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi. Sumatra memiliki 31.567 ton uranium dan 126.821 ton thorium, Kalimantan 45.731 ton uranium dan 7.028 ton thorium, dan Sulawesi 3.793 ton uranium dan 6.562 ton thorium.
Satu unit PLTN berkapasitas 1.000 MW membutuhkan 21 ton uranium yang dapat memproduksi listrik selama 1,5 tahun. Dari 21 ton uranium tersebut, emisi atau limbah yang dihasilkan hanya sepertiga.
Tantangan Pengembangan PLTN
Meski begitu, rencana Indonesia untuk mengembangkan pembangkit nuklir dinilai penuh tantangan. Hal ini terkait dengan biaya investasi yang dibutuhkan hingga penguasaan teknologi yang masih minim.
Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Herman Darnel Ibrahim, menilai bahwa Indonesia akan banyak bergantung kepada negara lain mulai dari pengembangan teknologi PLTN, pembangunan, hingga operasional. Untuk menghasilkan 1 kilowatt (KW) listrik PLTN dibutuhkan investasi US$ 6.000-10.000 (Rp 85-143 juta).
Investasi untuk membangun PLTN berkapasitas 3.000 megawatt (MW) setara dengan investasi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara 10.000 MW, atau pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) 24.000 MW, atau PLTS atap 40.000 MW.
“Ada sejumlah peralatan yang Indonesia harus impor dan dalam perawatan juga akan melibatkan negara lain,” kata Herman saat menjadi pembicara di diskusi bertajuk Dinamika Perkembangan PLTN Pasca Kecelakaan Fukushima pada Jumat (11/3/2022).