Kapasitas Terpasang EBT Capai 12,7 GW, PLTA Mendominasi
Kapasitas terpasang energi baru terbarukan (EBT) hingga paruh pertama 2023 mencapai 12,7 giga watt atau sekitar 15% dari total pembangkit saat ini.
Direktur Jenderal EBT dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan PLTA masih mendominasi porsi EBT yang mencapai 6,7 GW. Kemudian diikuti oleh pembangkit biomassa sebesar 3,8 GW, pembangkit panas bumi (2,3 GW), PLTS (322 MW), pembangkit tenaga angin (154 MW), dan pembangkit gasifikasi batu bara sebesar 30 MW.
"Saat ini kapasitas pembangkit EBT sebesar 12,7 GW atau 15% dari total pembangkit sebesar 84,8 GW," ujar Dadan.
Selain untuk pembangkit, penggunaan EBT juga dioptimalkan melalui biodiesel campuran 35% (B35). Sejak awal tahun ini, Dadan menyebut pemanfaatannya sudah mencapai 5,67 juta kiloliter. Selain itu, biomassa juga dipakai untuk program co-firing PLTU yang ditargetkan beroperasi di 52 lokasi pada 2025.
“Saat ini telah diimplementasikan di 37 lokasi. Pemanfaatan biomassa telah mencapai 306 ribu ton dari target 1,08 juta ton tahun 2023," ujarnya.
Sementara itu, dalam RUPTL PT PLN (Persero) 2021-2030, total pembangkit EBT yang akan dibangun sebesar 20,9 GW. Hingga saat ini, jumlah PLT EBT yang telah beroperasi sebesar 737 MW (3,5%), memasuki tahap konstruksi sebesar 5,2 GW (25,1%), tahap pengadaan sebesar 976 MW (4,7%), tahap rencana pengadaan sebesar 1,23 GW (5,9%), tahap perencanaan 12,6 GW (60,5%), dan proyek yang tidak dilanjutkan dan terminasi sebesar 64 MW (0,3%).
Dadan menyebut, Kementerian ESDM juga tengah menyiapkan regulasi Rancangan Peraturan Menteri tentang pemanfaatan biomassa untuk campuran bahan bakar PLTU. Selain itu, kementerian juga sedang merevisi Permen ESDM no.26/2021 tentang PLTS Atap yang saat ini dalam tahap harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM.
Dadan menyebut Indonesia memiliki potensi EBT mencapai 3.687 GW. Ini terdiri dari potensi surya sebesar 3.294 GW, potensi hidro 95 GW, potensi bioenergi 57 GW, potensi bayu 155 GW, potensi panas bumi 23 GW, potensi laut 63 GW. Selain itu, terdapat potensi uranium 89.483 ton dan thorium 143.234 ton.
Sebelumnya Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), Wiluyo Kusdwiharto, mengatakan bahwa pemerintah perlu menelurkan terobosan yang berani dan konsisten untuk mengakselerasi penggunaan energi baru terbarukan.
METI menuliskan sejumlah tantangan dalam pengembangan EBT di Indonesia. Kendala yang kerap ditemui dalam implementasi pembangunan PLTA adalah kebutuhan lahan hingga lokasi dan perizinan. Sementara hambatan pengadaan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) lebih mengacu pada kebutuhan biaya investasi yang besar, dan waktu pengembangan proyek hingga 7-10 tahun, dihitung dari tahap eksplorasi sampai operasi.
Aspek lokasi dan perizinan juga menjadi rintangan dalam pengembangan PLTP, khususnya pada lokasi yang berada di kawasan hutan konservasi atau hutan lindung. METI juga mencatat sejumlah kendala dalam pengembangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) yang memerlukan kesiapan sistem untuk mengakomodir masuknya setrum angin dan surya.
Menurut METI, implementasi PLTS dan PLTB memerlukan komponen tambahan berupa baterai khusus untuk energi penyimpanan atau battery energy storage system (BESS) sebagai infrastruktur pendukung.
"Tantangan pengembangan EBT ini perlu adanya regulasi. Kami harapkan nanti RUU mengenai EBET segera terbit agar ada solusi," ujar Wiluyo.