DEN Minta Pemerintah Percepat Amdal untuk Proyek EBT

Nadya Zahira
21 September 2023, 14:15
Dewan Energi Nasional (DEN) menilai proses pengurusan izin Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) yang lambat menghambat pengembangan proyek energi baru terbarukan (EBT).
ANTARA FOTO/Arnas Padda/yu/aww.
Dewan Energi Nasional (DEN) menilai proses pengurusan izin Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) yang lambat menghambat pengembangan proyek energi baru terbarukan (EBT).

Dewan Energi Nasional (DEN) meminta pemerintah untuk mempercepat proses Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) untuk proyek energi baru terbarukan (EBT). Proyek energi EBT membutuhkan waktu lebih dari setahun untuk mendapatkan perizinan ini sehingga progresnya kerap berjalan lambat. 

“Amdal perlu dipercepat, karena saat ini Indonesia sedang ambisisus untuk mengejar target penambahan kapasitas pembangkit hijau agar bisa mencapai net zero emission (NZE) di 2060,” ujar Anggota DEN Herman Darnel Ibrahim, saat ditemui di sela acara The 9th Indonesia International Geothermal Convention and Exhibition, Jakarta, Rabu (20/9).

Dokumen Amdal merupakan suatu dokumen yang berisikan analisis terkait dampak dari setiap tahapan kegiatan pertambangan terhadap lingkungan yang disusun oleh perusahaan. Dokumen ini kemudian akan dievaluasi oleh pemerintah. 

Herman mengatakan, DEN telah melakukan upaya-upaya agar pemerintah dapat mempercepat Amdal tersebut. Salah satunya dengan menyampaikan permintaan itu langsung kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif, dalam sidang anggota DEN. 

“Saya sejak tahun lalu sudah menjadi penilai Amdal. Saya perhatikan memang pengurusan Amdal ini lama dan tidak ada target waktu. Harapannya, ke depan bisa dipermudah dan dipercepat untuk mendukung proyek-proyek EBT,” kata Herman.

Dia mencontohkan, kedua proyek EBT yang amdalnya sampai saat ini belum juga terbit adalah proyek panas bumi Ijen yang dijalankan PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC) dan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Hulu Rokan. 

“Padahal, PLTS Hulu Rokan itu sangat membutuhkan Amdal karena disebut sebagai perluasan proyek dari kegiatan eksisting atau pengeboran migas di sana,” ujar Herman.

Di sisi lain, DEN juga mengusulkan kepada menteri ESDM untuk membebaskan Amdal bagi perusahaan yang ingin membangun proyek EBT seperti tenaga surya, di lokasi yang sudah memiliki Amdal. “Ini yang saya usulkan ke Pak Menteri, misalnya perusahaan mau bangun surya di lokasi yang sudah ada amdal, sampai berapa Megawatt (MW) tidak perlu mengajukan Amdal lagi, dibebaskan saja," katanya.

Proses perizinan Amdal yang lambat justru kontradiktif dengan kebutuhan Indonesia untuk menambah kapasitas pembangkit EBT. Padahal, jika ingin mendorong transisi energi di Indonesia, pemerintah seharusnya mempercepat dan mempermudah izin-izin terkait lingkungan.

Oleh sebab itu, DEN mengusulkan kepada pemerintah agar percepatan izin lingkungan seperti Amdal maupun izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) bisa tertuang dalam kebijakan khusus berupa Peraturan Presiden (Perpres). Pasalnya, meski sudah ada Peraturan Presiden (Perpres) 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik, pengembangan proyek EBT tidak bisa menggunakannya sebagai landasan untuk mempercepat penyelesaian proyek energi bersih tersebut. 

Transisi Energi Indonesia Tertinggal

Berbagai kendala ini membuat kinerja transisi energi Indonesia masih kalah dibanding Malaysia, Vietnam, dan Thailand. Hal ini tercatat dalam laporan World Economic Forum (WEF) yang bertajuk Fostering Effective Energy Transition 2023.

WEF menilai kinerja transisi energi di 120 negara berdasarkan belasan indikator, di antaranya tingkat penggunaan energi bersih, pengurangan emisi karbon, kesiapan infrastruktur, sampai kerangka regulasi dan kemampuan finansial setiap negara untuk mendorong transisi energi.

Hasil penilaiannya kemudian dirumuskan menjadi Energy Transition Index (ETI) dengan sistem skor 0-100. Skor ETI 0 menunjukkan kinerja yang sangat buruk, sedangkan ETI 100 sangat baik.

Dengan metode tersebut, pada 2023 Malaysia memperoleh skor ETI 61,7 poin, paling tinggi di Asia Tenggara. Di bawahnya ada Vietnam dengan skor 58,9 poin, Thailand 55,9 poin, dan Indonesia dengan skor 55,8 poin.

Reporter: Nadya Zahira

SAFE Forum 2023 akan menghadirkan lebih dari 40 pembicara yang akan mengisi 15 lebih sesi dengan berbagai macam topik. Mengangkat tema "Let's Take Action", #KatadataSAFE2023 menjadi platform untuk memfasilitasi tindakan kolaboratif dari berbagai pemangku kepentingan yang disatukan oleh misi menjadikan Indonesia sebagai negara yang lebih hijau. Informasi selengkapnya di sini.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...