IEA: Ini Syarat Agar Net Zero Emission Global pada 2050 Bisa Tercapai
Sejumlah negara telah berkomitmen dan bekerja sama untuk mencapai target Net Zero Emission (NZE) atau nol emisi bersih global pada 2050. International Energy Agency (IEA) menyatakan ada beberapa syarat yang harus dilakukan agar bisa mencapai target tersebut.
Syarat-syarat tersebut mencakup pengurangan emisi karbondioksida (CO2) dan gas rumah kaca (GRK) terutama metana, secara cepat dan mendalam pada tahun 2030. IEA mengatakan, jika dunia menunda pengurangan tersebut maka target nol emisi bersih menjadi tidak mungkin tercapai.
“Pengurangan emisi itu dapat dilakukan dengan menggunakan teknologi dan opsi mitigasi yang sudah tersedia,” tulis IEA dalam laporannya, dikutip Jumat (29/9).
Selain itu, berdasarkan laporan IEA, syarat lainnya untuk bisa mencapai NZE global pada 2050 adalah dengan meningkatkan kapasitas pembangkit listrik berbasis energi terbarukan hingga tiga kali lipat, meningkatkan intensitas energi hingga dua kali lipat, peningkatan elektrifikasi yang tajam, dan penurunan emisi gas metana sektor energi hingga tiga perempatnya.
Syarat selanjutnya adalah adanya transisi yang teratur di sektor energi. Hal ini termasuk memastikan keamanan pasokan bahan bakar dan listrik setiap saat, meminimalkan aset-aset yang terbengkalai jika memungkinkan, serta menghindari volatilitas di pasar energi.
Jika syarat-syarat tersebut bisa dilakukan, IEA memprediksi kapasitas energi terbarukan dan kapasitas terpasang pembangkit listrik berbasis energi terbarukan akan naik hingga tiga kali lipat pada tahun 2030. Hal tersebut juga akan memberikan kontribusi terbesar dalam upaya mengurangi emisi CO2 global pada tahun 2030.
IEA menilai penggunaan teknologi berbasis transisi energi nantinya akan meningkat signifikan. Seperti kapasitas energi baru terbarukan (EBT) global yang melonjak dari 3.630 Gigawatt (GW) pada 2022 menjadi 11.000 GW pada tahun 2030, dipimpin oleh tenaga surya fotovoltaik (PV) dan angin.
“Tetapi, meningkatnya kapasitas energi terbarukan hingga tiga kali lipat itu membutuhkan penambahan kapasitas tahunan sebesar 336 GW pada tahun 2022 menjadi lebih dari 1.250 GW pada tahun 2030, atau meningkat rata-rata sebesar 18% per tahun,” ujar IEA.
Selanjutnya, porsi pembangkit listrik yang berasal dari energi terbarukan juga diprediksi akan meningkat dari 30% pada tahun 2022 menjadi hampir 60% pada tahun 2030, dengan porsi gabungan antara tenaga surya dan angin yang meningkat dari 12% pada tahun 2022 menjadi 40% pada tahun 2030.
Dunia Butuh Rp 41 Kuadriliun per Tahun untuk Mencapai NZE 2050
Sementara itu, konsultan Wood Mackenzie melaporkan, investasi global sebesar US$ 2,7 triliun per tahun atau lebih dari Rp 41,5 kuadriliun dibutuhkan untuk bisa mencapai net zero emission (NZE) pada 2050. Adapun upaya dekarbonisasi membutuhkanUS$ 1,9 triliun atau sekitar Rp 29,2 kuadriliun per tahun.
Untuk mencapai pendanaan tersebut, investasi harus meningkat 150% per tahun dari level yang ada saat ini agar pemanasan suhu bumi dapat dijaga pada level 1,5 derajat Celsius pada pertengahan abad ini demi menghindari dampak bencana dari perubahan iklim.
Meski banyak negara telah berjanji untuk mengurangi emisi hingga nol untuk mencapai target iklim, Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) memprediksi dunia akan gagal dalam mencegah pemanasan suhu bumi pada level 1,5 derajat Celsius. Kemungkinan besar kegagalan ini akan membawa dunia ke arah kenaikan suhu sebesar 2,5 derajat Celcius pada 2050.
Selain itu, laporan yang sama juga menyampaikan bahwa sebagian besar negara tidak atau belum bisa memenuhi target nol emisi pada 2030, apalagi 2050.
"Mencegah kenaikan suhu lebih dari 1,5 derajat Celcius akan menjadi tantangan yang sangat besar, tetapi hal ini mungkin terjadi dan sangat bergantung pada tindakan yang diambil dalam dekade ini," kata Ketua dan Kepala Analis Wood Mackenzie Simon Flowers, seperti dikutip Jumat (15/9).
Di sisi lain, dalam laporan tersebut juga menyinggung soal energi terbarukan seperti tenaga angin dan matahari. Di mana, keduanya harus menjadi sumber utama pasokan listrik dunia untuk mendukung elektrifikasi transportasi dan produksi hidrogen ramah lingkungan.