EBT Masih Mahal, Transisi Energi Berpotensi Kerek Naik Tarif Listrik
Pemerintah tengah mendorong transisi energi untuk mencapai target Net Zero Emission (NZE) pada 2060. Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro mengatakan untuk bisa mencapai target tersebut tidak mudah, apalagi transisi energi diprediksi akan menaikkan tarif listrik di Indonesia.
Komaidi mengatakan, kenaikan listrik tersebut bisa terjadi karena harga listrik dari energi baru terbarukan (EBT) akan lebih mahal dibandingkan dengan harga listrik dari pembangkit listrik batu bara.
Selain itu, dia mengungkapkan, saat melakukan transisi energi sudah pasti akan ada penyesuaian biaya yang dinilai lebih mahal dari yang sudah ada sebelumnya.
“Artinya nanti biayanya akan ada adjustment, jadi biasanya akan lebih mahal. Itu sesuatu yang umum atau yang biasa karena kan memang skala bisnisnya baru masuk,“ ujar Komaidi dalam acara CNBC Indonesia, Energy Corner, dikutip Rabu (4/10).
Menurut dia, program transisi energi dalam jangka pendek atau pun menengah juga diprediksi akan membebani keuangan pemerintah dan perusahaan. Artinya, beban baru tersebut akan ditanggung Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) atau pun kepada pelaku usaha yang mengembangkan energi baru terbarukan (EBT).
“Jadi kemungkinan program transisi energi itu bisa memberatkan APBN sebagai subsidi, atau dibebankan ke pelaku usaha, atau bisa juga dibebankan ke konsumen,“ kata dia.
Oleh sebab itu, Komaidi menilai beban baru tersebut seharusnya bisa dibagi secara merata pada seluruh sisi baik pemerintah, pelaku usaha, maupun konsumen. Sehingga tidak hanya membebankan satu pihak saja karena adanya program transisi energi di Indonesia untuk kepentingan bersama.
“Tapi nanti lambat laun, sebetulnya akan menjadi keseimbangan baru dan semuanya akan menuju hal yang lebih baik dari aspek lingkungan sosial maupun ekonomi, jadi harga EBT yang mahal bukan merupakan masalah yang besar,” kata dia.
Negara-negara ASEAN diperkirakan membutuhkan dana hingga US$ 987 miliar untuk mencapai target jangka pendek transisi energi di 2030 guna mencapai skenario net zero pada 2050.
Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan Institute for Essential Services Reform (IESR) Marlistya Citraningrum mengatakan 40% dari kebutuhan dana tersebut diperlukan untuk untuk pembangkit listrik, terutama peningkatan penetrasi energi terbarukan. Sayangnya, pertumbuhan EBT di kawasan ini dianggap masih belum konsisten.
Marlistya menyebut sejak Persetujuan Paris, Fair Finance Asia justru mencatat sejumlah besar pembiayaan masih mengalir untuk penambangan batubara dan PLTU di Asia. “Nilainya mencapai US$ 683 miliar, termasuk ke Indonesia, Filipina, dan Vietnam,” katanya.
Menurut Marlistya, ASEAN perlu mengkonsolidasikan berbagai kebijakan untuk mendorong percepatan transisi energi. Ini misalnya dengan mendorong pasar untuk pembiayaan berkelanjutan regional dengan taksonomi hijau.
Selain itu, diperlukan juga fasilitas manajemen risiko pengembangan proyek EBT dan sinergi kebijakan yang memungkinkan tumbuhnya skema-skema pembiayaan inovatif.
Berdasarkan laporan International Renewable Energy Agency (IRENA), Asia Tenggara memiliki potensi energi terbarukan yang sangat besar. Pada 2050, lembaga internasional itu memprediksi dua per tiga kebutuhan energi kawasan dapat dipenuhi oleh EBT.