Pakar Energi Soal Dana JETP Belum Cair: Target NZE 2060 Bisa Tercapai
Pemerintah berupaya mendapatkan pendanaan transisi energi sebesar US$ 20 miliar atau setara Rp 310 triliun melalui skema Just Energy Transition Partnership (JETP). Namun, hingga saat ini pendanaan tersebut belum kunjung cair.
Pakar Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi mengatakan pendanaan JETP bentuknya belum jelas, yakni berupa pinjaman komersial atau hibah, sehingga pemerintah diminta untuk tidak terlalu berharap dengan dana tersebut.
Namun, dia optimistis tidak adanya bantuan dari JETP pun Indonesia tetap bisa melakukan program transisi guna mencapai target nol emisi karbon pada 2060, karena sumber pendanaan untuk program transisi energi tersebut bisa bersumber dari investor, baik dalam negeri maupun luar negeri.
“Jadi pendanaannya bisa dengan cara mengundang investor untuk bersama-sama membangun pembangkit listrik energi baru terbarukan (EBT) atau biodiesel dan lain sebagainya,” ujar Fahmy saat dihubungi Katadata.co.id, Rabu (4/10).
Dia mengatakan optimisme tersebut muncul karena Indonesia mempunyai sumber EBT yang melimpah ruah seperti angin, matahari, air dan lainnya. Dengan demikian, banyak hal yang bisa dilakukan untuk mencapai target NZE 2060 tersebut.
“Jadi Indonesia harus menggandeng investor agar target NZE 2060 ini masih bisa dicapai,” kata dia.
Fahmy mengatakan, untuk menarik para investor agar tertarik berinvestasi di sektor EBT bisa dilakukan dengan cara memberikan kemudahan dan fasilitas, misalnya dalam bentuk insentif, “Kalau itu dilakukan akan berdatangan para investor baik dalam negeri atau pun luar negeri,” kata dia.
Sementara itu, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, pemerintah seharusnya menagih negara maju untuk konsisten membantu negara berkembang dan miskin lewat skema pembiayaan kreatif. Misalnya, debt swap, di mana utang negara maju existing bisa ditukar dengan penutupan atau pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara.
“Ada juga alternatif lewat debt cancellation untuk mengurangi beban utang. Perlu dicatat bahwa negara maju sudah memiliki komitmen US$ 100 miliar, kewajiban pendanaan pada COP15,” ujarnya.
Untuk itu, Bhima mengatakan komitmen tersebut perlu terus ditagih. Kemudian, dia menyebut pendanaan kreatif lainnya untuk mendukung transisi energi bisa melalui perdagangan karbon yang sering diklaim pemerintah bisa berpotensi menghasilkan keuntungan hingga Rp 15 kuadriliun.
“Jangan khawatir JETP tidak terealisasi karena masih banyak cara lain. Cina misalnya, punya Green Belt Road Initiative, salah satunya proyek energi bersih di Asia Tenggara,” kata dia.
Dia mengatakan, bisa jadi komitmen pendanaan Cina tersebut lebih murah sekaligus banyak porsi hibah nya. Bhima menyebut bahwa Cina sejauh ini belum menjadi bagian dari JETP, “JETP hanya trial and error, ya kalau belum jodoh bisa cari cara lainnya,” ujar Bhima.
Sebagai informasi, pendanaan JETP nantinya memang lebih banyak akan diberikan dalam bentuk pinjaman komersial. Ini termasuk pendanaan swasta yang di inisiasi Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ) senilai US$ 10 miliar.
Pendanaan dari swasta tersebut juga melibatkan Bank of America, Citi, Deutsche Bank, HSBC, Macquarie, MUFG, dan Standard Chartered. “Kemudian ada yang pinjaman, tapi pinjaman komersial yang bunganya lebih menarik," kata dia.
JETP pertama kali diluncurkan pada KTT Perubahan Iklim PBB ke-26 di Glasgow, Skotlandia pada 2021. Program ini merupakan inisiasi kelompok negara-negara kaya yang tergabung dalam IPG antara lain Inggris, Prancis, Jerman, Amerika Serikat (AS), dan Uni Eropa (UE).