UOB Indonesia Komitmen Hentikan Kredit Batu Bara pada 2039
PT Bank UOB Indonesia berkomitmen untuk mengurangi kredit batu baranya yang ditargetkan hanya sampai 2039. Wholesale Banking Director UOB Indonesia, Harapman Kasan mengatakan porsi kredit tambang batu bara paling banyak berasal dari Indonesia.
Sementara negara Asia Tenggara lainnya seperti Thailand, Singapura dan Malaysia tidak memiliki kredit tambang batu bara.
“Kita harus jalankan apa yang kita lakukan ini di kredit tambang batu bara ini sampai 2039. Jadi masih ada kira-kira 16 tahun untuk exit dari batu bara ini,” ujar Harapman saat Interview Session Gateway to ASEAN Confrence di Jakarta, Rabu (11/10).
Namun demikian, dia mengatakan, penyaluran kredit tambang batu bara tidak bisa dihentikan begitu saja. Apalagi bertransisi ke energi baru terbarukan (EBT) membutuhkan biaya yang lebih mahal dibandingkan dengan batu bara yang lebih terjangkau.
Oleh karena itu, dalam waktu 16 tahun ke depan, PT Bank UOB Indonesia akan merencanakan diversifikasi energi tambang bagi nasabahnya yang bermain di bidang batu bara. Namun, rencana tersebut dilakukan secara perlahan.
“Jadi apa yang kita lakukan ke nasabah-nasabah, kita akan continue, kita enggak akan langsug exit. Gampangnya kita perlu pikirkan terlebih dahulu,” kata dia
Harapman mencontohkan salah satu nasabahnya yang merupakan perusahaan terbuka, yaitu PT Indika Energy Tbk, sudah menyatakan akan mengurangi portofolio batu baranya hingga di bawah 50%. Dia mendorong agar nasabahnya beralih ke sektor ramah lingkungan seperti kendaraan listrik atau Electric Vehicle (EV).
“Rencananya kita akan diversifikasi bagi nasabah kita untuk bisa keluar dari bisnis batu bara, dan beralih ke industri EV. Jadi ini yang sedang didiskusikan dengan nasabah-nasabah kita,” kata dia.
Tantangan Transisi Energi di Sektor Keuangan
Sebelumnya, Executive Director, Treasury & Markets Bank DBS Indonesia M. Suryo Mulyono mengatakan, perbankan menjadi agen yang menempati posisi penting dalam aktivitas transisi. Terdapat tiga tantangan penerapan ESG dan transisi energi di sektor keuangan di Indonesia, yaitu regulasi yang jelas, manajemen risiko, dan aktivitas perdagangan.
Dia menyarankan agar semua pemangku kepentingan berusaha beradaptasi agar tercipta sinergi yang baik, antara perbankan, pemerintah, regulator, dan masyarakat.
Sejaitinya, Indonesia telah merilis target penurunan emisi gas rumah kaca dalam dokumen Kontribusi yang Ditetapkan secara Nasional yang telah ditingkatkan atau Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC).
Di dalam target terbaru itu, negara mengupayakan peningkatan pembangunan hijau dengan kemampuan sendiri, yakni dari 29 persen menjadi 31,89 persen. Dukungan dari kalangan internasional juga ditargetkan naik, dari 41 persen menjadi 43,20 persen.
Oleh karena itu, pemerintah memulai penandaan anggaran perubahan iklim atau climate budget tagging (CBT) sejak 2016. Tapi, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) saja tak mampu menutup kebutuhan pembiayaan ini. Sektor swasta, termasuk perbankan, didorong ikut berkontribusi dalam melakukan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.